Liputan6.com, Aceh - Masyarakat Tionghoa Buddha di Kota Banda Aceh melaksanakan perayaan Imlek 2573 dengan tertib, aman, dan penuh toleransi serta mengikuti protokol kesehatan.
"Kita membatasi, tapi tidak melarang. Siapa saja bisa datang sembahyang, siap sembahyang pulang, tidak berjamaah. Jadi kita bisa kurangi keramaian, kita tetap menjaga protokol kesehatan," kata Ketua Yayasan Vihara Dharma Bhakti, Yuswar, Selasa (1/2/2022)..
Setiap momentum pergantian tahun baru Imlek tepatnya pukul 00.00 WIB, umat Buddha selalu melakukan sembahyang sebagai bentuk rasa syukur terhadap rezeki yang telah diperoleh selama setahun lalu.
Advertisement
Personel polisi dari Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banda Aceh juga turut mengamankan, berjaga-jaga di sekitaran vihara saat umat sembahyang secara bergantian.
"Ada yang sembahyang malam ini, ada juga yang besok pagi, jadi tidak terfokus semua malam ini sehingga tidak ramai sekali," kata Yuswar.
Perayaan Tahun Baru Imlek tahun 2573 jatuh pada Shio macan air, yang memiliki karakteristik berani, rasa percaya diri yang kuat, tidak dapat diprediksi dan juga emosi yang sulit dikendalikan.
"Perayaan Imlek ini sebagai rasa syukur kita kepada Tuhan, terimakasih kepada tuhan, bahwasanya setahun yang lalu itu sudah diberkati rezeki, rahmat, kesehatan dan sebagainya, jadi kita bersyukur untuk itu. Kita mengharapkan berkah yang lebih baik daripada tahun yang lalu," katanya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Toleransi di Aceh
Yuswar mengatakan, masyarakat Tanah Rencong sangat menghargai perbedaan keyakinan beragama. Vihara Dharma Bhakti di Jalan Panglima Polem, Peunayong, Banda Aceh itu bahkan sudah berdiri sejak 1936.
Terdapat sekitar 3.500 hingga 4.000 umat Buddha di ibukota Provinsi Aceh, sekaligus empat rumah ibadah, di antaranya Vihara Dharma Bhakti, Vihara Maitri, Vihara Dwi Samudera dan Vihara Sakyamuni.
"Sebenarnya di Aceh ini, toleransinya sudah sangat baik, tidak pernah timbul masalah yang menjurus ke SARA, atau pun hal agama. Kalau di Aceh itu terus terang saja dari dulu sudah sangat baik, keharmonisan antar umat beragama itu sangat bagus," katanya.
Selama ini, kata Yuswar, banyak masyarakat luar Aceh yang beranggapan negatif terhadap masyarakat Aceh dalam memperlakukan umat minoritas.
Padahal, lanjut dia, masyarakat Aceh sangat menghargai umat agama lain, selain muslim yang mayoritas. Saat Imlek, banyak warga yang melihat langsung umat Buddha sembahyang, namun tidak ada perkataan atau perbuatan yang melecehkan.
"Selama ini memang dari luar Aceh banyak menilai Aceh negatif toleransi, padahal kami dari kecil, saya sudah berusia 71 tahun, selama saya hidup saya belum ada merasakan konflik menjurus kepada agama, unsur SARA, enggak ada, kami hidup berdampingan," kata Yuswar.
Advertisement