Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Dinilai Mudahkan Tangkap Koruptor

Langkah pemerintah Indonesia mewujudkan perjanjian ekstradisi dengan Singapura diapresiasi Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) Mahmul Siregar.

oleh Reza Efendi diperbarui 04 Feb 2022, 20:44 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2022, 18:41 WIB
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) Mahmul Siregar
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) Mahmul Siregar

Liputan6.com, Medan Langkah pemerintah Indonesia mewujudkan perjanjian ekstradisi dengan Singapura diapresiasi Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) Mahmul Siregar.

Perjanjian ekstadisi itu diharapkan menguatkan penegakan hukum yang bersifat lintas negara, seperti korupsi, pencucian uang, kejahatan narkotika, terorisme, dan pendanaan terorisme.

"Ekstradisi antara Indonesia-Singapura ini memberi manfaat untuk Indonesia, salah satunya apabila terjadi kejahatan transnasional, lintas negara," kata Mahmul di Medan, Sumatera Utara (Sumut), Jumat (4/2/2022).

Mahmul menyampaikan hal itu usai menghadiri Orasi Ilmiah Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dalam rangka Dies Natalis ke-68 Fakultas Hukum USU.

Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura akan mempersempit ruang pelarian pelaku kejahatan di Indonesia dan proses ratifikasinya terus dikomunikasikan dengan DPR RI.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Permudah Aparat Penegak Hukum

Penandatanganan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura
Penandatanganan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura, Selasa (25/01/2022), di Bintan, Kepri. (Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Mahmul mengungkapkan, dengan adanya perjanjian ekstradisi dengan Singapura, maka aparat penegak hukum di Indonesia dapat lebih mudah menangkap dan membawa pelaku kejahatan di Indonesia yang bersembunyi di Singapura untuk dibawa dan diadili di Indonesia.

"Para pelaku kejahatan lintas negara seperti korupsi, terorisme, pendanaan terorisme, pencucian uang, kejahatan narkotika dan lain-lain, itu mereka enggak bisa lagi bersembunyi di Singapura dengan adanya perjanjian ekstradisi ini," ungkapnya.

Selanjutnya, proses ratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura harus segera dilakukan pemeritah dan DPR RI agar perjanjian ekstradisi yang berlaku surut 18 tahun itu dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum.

"Perjanjian ekstradisi ini satu langkah positif dan maju bagi pemerintah kita untuk penegakan hukum di Indonesia. Selanjutnya ratifikasi agar penegakan hukum secara timbal balik antara Singapura dan Indonesia bisa dilaksanakan," sebut Mahmul.

Ditandatangani di Bintan

FOTO: Presiden Jokowi Terima PM Lee di Bintan
Presiden Joko Widodo (kanan) menyambut kedatangan PM Singapura Lee Hsien Loong di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, Selasa (25/1/2022). Kehadiran PM Lee di Bintan ini untuk menghadiri Leaders’ Retreat Indonesia-Singapura. (Laily Rachev/Biro Pers Setpres)

Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura ditandatangani Menkumham Yasonna Laoly bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum Singapura, K. Shanmugam, disaksikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri (PM) Singapura, Lee Hsien Loong, di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa, 25 Januari 2022.

Perjanjian Ekstradisi itu ditandatangani bersamaan dengan Perjanjian Flight Information Region (FIR) dan Defense Cooperation Agreement (DCA).

Perjanjian Ekstradisi pada pokoknya adalah perjanjian yang mengatur tata cara penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu tindak pidana oleh suatu negara, kepada negara yang meminta penyerahan.

Bentuk kejahatan yang disepakati untuk dapat dijadikan dasar ekstradisi juga diatur dalam perjanjian tersebut. Sesuai hasil kesepakatan, Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura mencakup 31 tindak pidana, antara lain tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme, serta korupsi.

Perjanjian ini juga bersifat dinamis karena kedua negara sepakat untuk menggunakan prinsip open ended dalam menentukan jenis tindak pidana yang dapat diekstradisi. Hal ini merupakan upaya untuk mengantisipasi kejahatan lainnya di masa mendatang yang disepakati kedua pihak, sehingga mekanisme ekstradisi dapat tetap dilaksanakan.

Dengan memanfaatkan ketentuan retroaktif yang diperpanjang menjadi 18 tahun, ekstradisi masih dapat dimohonkan untuk mereka yang melakukan tindak pidana tersebut di masa lampau.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya