Liputan6.com, Bandung - Hari masih juga dini, tapi urat leher Eti Rohaeni sudah mesti tegang sekali. Bicaranya sangat banter ketika dia dan beberapa warga berkumpul di kampung mereka yang setahun lalu runtuh karena penggusuran.
"Aing moal sieun," perempuan 60 tahun tersebut memilih berani pada apa yang harus dihadapi pagi itu, Selasa, 11 Oktober 2022, di Jalan Anyer Dalam, Kota Bandung.
Baca Juga
Dia buru-buru menuju dua mobil bak terbuka yang tak jauh terparkir, pengangkut bilah seng proyek berwarna biru-oranye-putih dengan tulisan PT KAI (Kereta Api Indonesia). Seng itu hendak dipasang sekelompok berpakaian sipil, mengaku sebagai pekerja pemborong, di lahan bekas gusuran.
Advertisement
Tanpa memperlihatkan indentitas dan surat tugas, para tamu yang tak diundang itu jelas tak diterima warga Anyer Dalam. Dengan muka geram, Eti dan warga lainnya berupaya mengadang agar seng tak terpasang, berteriak mengusir mereka yang baru datang.
"Indit siah!" hardik Eti.
"Gini, bapak, ibu, itu (lahan bekas gusuran) tidak enak dilihatnya kan, ya, ini biar diperindah dengan pagar seng," seorang lelaki berperawakan tegap tinggi, berbaju hitam dan berambut agak cepak itu seperti sedang mengelabui anak kecil.
"Enggak. Menurut kami indah kok, dan kalaupun menurut Bapak ini tidak indah PT KAI sendiri yang membuatnya seperti ini. Mending Bapak pulang aja, Pak, pasang aja seng itu di rumah Bapak," timpal seorang warga lain.
Â
Setahun Penggusuran
Sengketa warga Anyer Dalam melawan perusahaan kereta itu diketahui meruncing pada 18 November 2021 lalu. PT KAI melakukan penggusuran paksa terhadap 25 rumah. Sekitar 84 warga kehilangan tempat tinggal, termasuk kelompok rentan anak dan balita, lansia, serta disabilitas.
Hingga kini, sebagian warga masih bertahan di Anyer Dalam. Beberapa warga terpaksa menumpang di rumah saudara, menyewa kontrakan, pulang kampung atau numpang di kerabat yang tinggal di luar Anyer Dalam.
PT KAI mengklaim memiliki sertifikat hak pakai tahun 1980-an atas lahan di RT 05/06, RW 04, Kelurahan Kebonwaru, Kecamatan Batununggal itu. Pengakuan warga, mereka sudah lebih lama mendiami tanah tersebut, ber-KTP, membayar pajak bumi bangunan, juga tagihan listrik dan air.
Warga memang mengaku tidak memiliki sertifikat lahan, tapi mereka juga sangsi pada sertifikat PT KAI. Lagipula, mereka merasa lebih berhak atas tanah sebab selama ini warga yang menguasai langsung dan merawat tanah secara turun temurun.
Sejumlah warga juga mempertanyakan, jika memang PT KAI memiliki hak atas lahan tersebut, maka bukankah PT KAI telah menelantarkan lahan tersebut selama puluhan tahun ini, justru warga yang kemudian menghidupi tanah terlantar itu. KAI dirasa merebut lahan mereka. Dengan cara kasar, mengerahkan pasukan dan alat berat untuk menggusur.
Lahan yang dieksekusi diketahui berkaitan dengan proyek Laswi City Heritage, pembangunan sebuah kawasan baru yang digadang bakal jadi tempat ikonik anyar di Kota Kembang mencakup area bisnis, ruang terbuka, arena olahraga, hingga pusat hiburan.
Belum lama ini, misalnya, sebuah festival musik yang diisi artis-artis lokal maupun nasional berlangsung gempita selama dua hari pada pertengahan September lalu. Pesta itu berlangsung kala perjuangan warga Anyer Dalam belum juga rampung, saat luka dan trauma mereka atas penggusuran dirasa belum juga kering.
"Harga diri, harta benda, dan kenangan kampung halaman kami seolah dirampok," kata Dindin.
Â
Advertisement
Ganti Rugi dan Hak Lahan
Eksekusi tahun lalu dilakukan menjelang persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Warga diketahui melayangkan gugatan terhadap PT KAI. Persidangan berlangsung sampai 10 bulan. Tanggal 18 Agustus 2022, PN Bandung menyatakan bahwa gugatan warga prematur atau Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO).
Awal Oktober tahun ini, warga kembali mengajukan gugatan baru ke PN Bandung. Nomor perkara sudah terbit per Senin, 10 Oktober 2022 kemarin. Kuasa hukum warga, Tarid Febriana, menyampaikan, pihak warga menggugat agar PT KAI membangun ulang rumah yang sudah mereka hancurkan.
"Atau kalau tidak mampu, PT KAI harus ganti rugi sesuai NJOP (Nilai Jual Objek Pajak)," katanya.
Selama ini, PT KAI memang tidak berniat memberikan ongkos ganti bangunan apalagi lahan. Hanya meminta para penghuni pergi dengan bekal ongkos bongkar. Nilainya, Rp200 ribu per meter persegi untuk bangunan semi-permanen dan Rp250 ribu per meter persegi untuk bangunan permanen.
"Kalau dihitung-hitung artinya saya hanya dapat Rp15 juta. Rp15 juta itu harus dibagi tiga keluarga, jadi cuma Rp 5 juta. Kami membangun rumah bertahap, harganya lebih jauh dari itu. Kalau kami terima itu, lalu tinggal di mana?," tanya Eti.
Selain menuntut ganti rugi, pihak warga juga berupaya mendapatkan alas hak atas lahan yang mereka tinggali. Menurut Tarid, secara hukum materi lahan tersebut milik warga karena sudah dikuasai lebih dari 60 tahun.
"Pada 2017 lalu, warga pernah ditawari program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap), tapi pas mengajukan berkas sampai hari ini tidak ada kabar lagi. Saat ini, kami tengah mencari kejelasan dulu, sudah sampai mana itu berproses," katanya.
Â
Klaim dan Intimidasi
Tahun lalu penggusuran terjadi ketika gugatan sudah masuk ke pengadilan dan tinggal menunggu sidang. Kini, upaya pemasangan seng juga pada waktu serupa. Menurut Tarid, wajar bila warga merasa resah, pemasangan seng jadi bentuk lain dari klaim sepihak dan intimidasi, serta mengorek trauma tahun lalu.
"Ini yang datang siapa sebenarnya, ke warga mereka mengaku hanya pemborong, ketika saya datang, ada yang mengaku pengacara. Harusnya ada surat tugas, surat kuasa, pas diminta tidak kasih lihat," katanya.
Tarid berpendapat, PT KAI tidak menghargai proses hukum yang tengah berlangsung. Selain itu, PT KAI mengabaikan surat rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Nasional (Komnas HAM). Diketahui, pihak warga telah berkirim surat juga bertemu dengan Komnas HAM untuk mengadukan kejadian di Anyer Dalam.
Hasil korespondensi dan pertemuan tersebut menghasilkan rekomendasi awal. Pertengahan September lalu, Komnas HAM kemudian menyurati PT KAI.Â
Berdasarkan surat berkop Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, nomor 31/R/MD OO.OO/2022 yang ditujukan kepada Direktur Utama PT KAI pada 16 September 2022 lalu, Komnas HAM memberikan sejumlah rekomendasi di antaranya terdapat poin yang meminta pihak KAI tidak melakukan tindakan apapun sebelum terjadi audiensi antara warga dan PT KAI di kantor Komnas HAM, Jakarta.
"Komnas HAM RI meminta PT Kereta Api Indonesia (Persero) tidak melakukan tindakan apapun terkait objek sengketa dimaksud sampai adanya proses mediasi yang difasilitasi Komnas HAM RI," dikutip dari surat yang ditandatangani Komisioner Mediasi Komnas HAM RI, Hairansyah.
Tarid menegaskan, media antara warga dan pihak PT KAI tersebut belum pernah terlaksana hingga kini.
Kemarin, setelah enam jam saling bersitegang, pemasangan seng pun urung dilakukan, sekelompok diduga orang suruhan PT KAI itu berhasil diusir Eti dan warga Anyer Dalam lainnya, serta mereka yang turut bersolidaritas. Warga Anyer Dalam menegaskan, mereka masih melawan.
Liputan6.com berupaya meminta konfirmasi atas upaya pemasangan seng di Anyer Dalam kepada Humas PT KAI Daop 2 Bandung, Kuswardojo. Namun, hingga berita ditulis, dia tidak merespons permintaan tersebut.
Advertisement