Kekayaan Sejarah dan Tradisi Kampung Sewu di Kota Solo

Sejarah Kampung Sewu ternyata memiliki ikatan dengan Pangeran Mangkubumi yang kemudian naik tahta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 16 Agu 2023, 06:00 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2023, 06:00 WIB
Wisata Solo
Tempat bersejarah (sumber: amufa25.blogspot)

Liputan6.com, Solo - Kampung Sewu merupakan salah satu kampung di Kota Solo yang memiliki kekayaan sejarah dan tradisi. Hal itu menjadi daya tarik tersendiri bagi warga setempat maupun wisatawan.

Kampung Sewu berisi beragam kampung, seperti Sowijayan, Ledok, Tengklik, Honggopradatan, Kerengan, Gedongan, Putat, Kranggan, Sidamulya, Kedungkopi, Grobogan, dan Sawunggaling.

Mengutip dari surakarta.go.id, sejarah Kampung Sewu ternyata memiliki ikatan dengan Pangeran Mangkubumi yang kemudian naik takhta dengan gelar Sultan Hamengkubuwono. Sebelum menjadi raja, Pangeran Mangkubumi bertirakat atau melakukan petilasan di Sewu.

Sejarah lain dari kampung ini adalah keberadaan pelabuhan besar, yaitu Pelabuhan Beton atau Bandar Beton. Pelabuhan itu menjadi penghubung antara Keraton Kasunanan Surakarta dan kota-kota niaga di Jawa bagian timur.

Konon, Bandar Beton merupakan dermaga ke-43 dari dermaga yang berada di sepanjang Bengawan Solo. Bandar Beton mencakup wilayah dari Surabaya hingga Sukoharjo.

Sisi lain Kampung Sewu adalah keberadaan situs menarik, yaitu pohon beringin yang oleh warga sekitar dikenal dengan sebutan Pohon Pamrih. Selain itu, Kampung Sewu juga dikenal sebagai tempat berbagai tradisi lokal yang masih dipercaya hingga kini.

Salah satu tradisi yang masih dilakukan adalah berdoa dan meminta izin di depan Pohon Pamrih bagi pasangan yang hendak menikah. Hal itu bertujuan agar acara pernikahan berjalan lancar.

Kampung Sewu juga memiliki tradisi turun-temurun yang masih dilestarikan oleh masyarakat sekitar, yaitu kirab apem sewu. Tradisi ini bermula dari nasihat seorang ulama penyebar syiar agama Islam yang singgah di Kampung Sewu, Ki Ageng Gribig.

Ketika itu, kampung sedang dilanda bencana wabah penyakit. Ki Ageng Gribig menyarankan agar masyarakat membuat kue apem untuk disantap bersama.

Sebagian kue tersebut kemudian dibagikan kepada warga lain untuk menghilangkan wabah tersebut. Tradisi ini terus berlanjut dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Kampung Sewu, terutama yang berada di pinggir sungai.

Setiap 19 Dzulhijah, masyarakat akan bersama-sama membuat kue apem. Para wanita yang tidak mengalami haid berperan penting dalam proses pembuatan apem ini.

Setelah selesai dibuat, kue apem dibagikan kepada warga sebagai tanda syukur atas karunia Tuhan. Tradisi-tradisi lainnya juga berkembang di kampung ini. Hal itu kemudian menjadi bagian dari keunikan dan kekayaan budaya lokal.

Sementara itu, terdapat beberapa versi mengenai asal-usul nama Sewu. Salah satu versi menyebut bahwa kelurahan ini dulunya merupakan tempat tinggal Bupati Nayaka Sewu bernama Kyai Tumenggung Cakrajaya.

Versi lain menyebut nama Kampung Sewu merujuk pada kata panewu, yakni Abdi Dalem Keraton yang mengelola aset istana. Terlepas dari asal-usul namanya, Kampung Sewu memiliki kenangan yang menyimpan jejak beberapa tokoh daerah dan nasional.

Beberapa di antaranya adalah Wali Kota I Surakarta Sindoeredjo, Sekretaris Jenderal OPEC 1988 Prof. Dr. Soebroto, M.A., dan PM ke-6 Dr. Soekiman Wirjosandjojo. Kampung Sewu, dengan segala sejarah, tradisi, dan kenangan yang dijaganya, menjadi salah satu warisan berharga bagi Solo.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya