Membedah Konflik Agraria di Jambi yang Berujung Kriminalisasi Petani

Kekerasan atau penyelesaian di meja hijau akan merugikan petani yang pendapatannya relatif rendah.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Okt 2023, 21:47 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2023, 19:32 WIB
Diskusi publik yang diselenggarakan oleh EN-LMND dengan tema "Eksistensi Polri Dalam Penanganan Konflik Agraria" pada Jumat, 6 Oktober 2023. (Liputan6.com/ ist)
Diskusi publik yang diselenggarakan oleh EN-LMND dengan tema "Eksistensi Polri Dalam Penanganan Konflik Agraria" pada Jumat, 6 Oktober 2023. (Liputan6.com/ ist)

Liputan6.com, Jambi - Konflik agraria di Provinsi Jambi antara kelompok tani dengan PT RKK berlanjut usai tindakan penangkapan terhadap enam petani Jambi dan satu sopir pengangkut sawit beberapa waktu lalu.

Permasalahan tersebut menjadi topik Diskusi publik yang diselenggarakan oleh EN-LMND dengan tema "Eksistensi Polri Dalam Penanganan Konflik Agraria" pada Jumat, 6 Oktober 2023.

Dalam diskusi itu dibahas secara mendalam pentingnya penyelesaian kasus agraria dengan pendekatan Restorative Justice.

Biro Advokasi dan HAM Pengurus Pusat Serikat Tani Nasional (PP-STN), Fitrah Awaludin mengatakan tindakan penangkapan terhadap petani tersebut melanggar SOP, hak asasi manusia.

"Serta menunjukkan indikasi kekerasan," ujarnya.

Anggota Komite I DPD, Filep Wamafma mengecam tindakan terhadap petani. Ia mendukung penyelesaian konflik agraria dengan pendekatan musyawarah mufakat melalui sistem Restorative Justice.

"Kekerasan atau penyelesaian di meja hijau akan merugikan petani yang pendapatannya relatif rendah," jelasnya.

Menyoroti masalah ini, DPD berencana untuk mengambil alih kasus petani Jambi melalui Kapolri berdasarkan pengaduan yang diterima. Filep menyebut penanganan konflik agraria di seluruh Indonesia dan menyarankan pembentukan badan/lembaga otonom yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam penyelesaian kasus serupa.

Investigasi lapangan yang dilakukan oleh ketua umum STN, Suluh Rifai, mengungkapkan bahwa kasus ini bermula pada tahun 2008 ketika PT.RKK mendapatkan izin untuk lahan seluas 682 hektare, termasuk hutan seluas 306 hektare yang seharusnya merupakan Hak Guna Usaha Hutan Tanaman Industri PT.WKS.

PT.RKK kemudian menanam sawit di dalam hutan seluas 2085 hektar, tindakan ini dianggap sebagai kejahatan perkebunan yang merugikan negara. Meski PT.WKS telah memenangkan kasusnya di pengadilan, masalah belum terselesaikan karena belum dicabutnya izin PT.RKK oleh Kementerian ATR/BPN RI.

Waketum DPP Prima, Mangapul Silalahi mengatakan netralitas Polri dalam menangani konflik agraria. Dia menekankan bahwa Polri harus menghormati proses hukum dan tidak memihak kepada pihak manapun.

 

Diskusi ini menyoroti kompleksitas masalah agraria di Indonesia dan menegaskan pentingnya penanganan yang adil, netral, dan berbasis hukum dalam menangani konflik serupa di masa depan. Semoga tindakan yang diambil oleh pihak berwenang dapat membawa keadilan bagi para petani yang terlibat dalam kasus ini.

Diketahui PT.RKK telah kehilangan izin usaha mereka berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 18/G/2012/PTUN.JBI dan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan Nomor: 21/B/2013/PT.TUN-MDN jo Putusan Mahkamah Agung Nomor: 336 K/TUN/2013, jo Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 105 PK/TUN/2014.

Hal ini membuktikan bahwa Koperasi Fajar Pagi bukanlah pemilik sah dari lahan perkebunan sawit tersebut. Oleh karena itu, penuduhan pencurian sawit kepada petani Jambi tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

 

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya