Liputan6.com, Bandung - Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi salah satu permasalahan kesehatan dunia. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan mayoritas vektor utamanya yakni Aedes aegypti berada di sejumlah negara tropis.
Menurut Peneliti Ahli Muda, Kelompok Riset Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis pada Manusia Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, BRIN, Beni Ernawan, spesies Aedes aegypti populer karena selain dengue, juga mentransmisi beberapa penyakit lain seperti chikungunya, yellow fever, dan zika.
Baca Juga
"Di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di pulau Jawa. Situasi hingga saat ini masih fluktuatif, meski sudah dilakukan pengendalian vector dengan berbagai cara atau metode," ujar Beni dalam keterangan tertulis di laman BRIN, dicuplik Selasa, 21 Mei 2024.
Advertisement
Beni mengatakan terdapat dua mengendalikan dengue yaitu desain vaksin atau obat, kemudian dengan pengendalian vektor atau nyamuk.
Untuk vaksinasi saat ini sudah terdapat beberapa kandidat vaksin, tetapi masih dalam tahap uji efikasi dan lainnya belum digunakan secara luas.
"Sehingga, pengendalian vektor atau nyamuk ini masih merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan," ungkap Beni.
Beni menyebutkan pengendalian dengue mengacu pada strategi nasional (stranas) pengendalian dengue tahun 2021-2025.
Banyak metode yang harus sinergi mulai dari manajemen survilens kemudian pelibatan masyarakat, manajemen vektor, akses tata laksana dengue-nya.
"Komitmen dari semua stakeholder dan tentunya kami sebagai peneliti harus berkontribusi tentang pengembangan kajian metode yang efektif dalam mengendalikan dengue salah satunya yaitu pengendalian teknik serangga mandul (TSM)," ucap Beni.
Beni menjelaskan teknik serangga mandul ditemukan oleh peneliti dari Amerika yaitu Edward F Knipling yang merupakan pioner dari teknik pengendalian serangga mandul.
Teknik ini sudah diimplimentasikan sejak tahun 50-an di Benua Amerika untuk mengeleminasi parasit ternak Cochliomyia hominivorax dengan merilis atau melepaskan jantan mandul.
Hal Ini merupakan debut dari keberhasilan TSM atau Sterile Insect Technique (SIT) pengendalian parasit ternak. Kemudian dilakukan pengendalian untuk lalat buah di Jepang di pulau Okinawa, selanjutnya lalat Tse-tse Glossina austeni di Tanzania Afrika.
"Secara prinsip sebenarnya SIT atau TSM ini relatif mudah. Akan tetapi hal ini merupakan rangkaian tahapan pekerjaannya banyak. Pertama serangga itu harus direaring atau dipelihara secara masal di fasilitas tertentu, kemudian dipisahkan jantan dan betinanya. Lalu jantannya kita mandulkan dengan energi pengion bisa dari gamma, x-ray atau yang lain. Selanjutnya jantan itu kita bawa dan transportasikan ke area yang akan dituju. Sehingga jantan mandul tadi akan kawin dengan betina yang ada di alam," jelas Beni.
Hasil perkawinan tersebut, lanjut Beni, mereka bertelur tapi tidak menetas. Sehingga dengan melepas secara periodik jantan mandul tersebut diharapkan populasi serangga targetnya akan menurun.
Dengan melepaskan jantan mandul maka rasio jantan dibanding populasi normalnya sembilan banding satu. Sehingga apabila kita melepas sebanyak lima kali tentunya akan menurun atau tereradikasi.
Dirinya menyimpulkan bahwa TSM ini adalah salah satu metode alternatif yang bisa dicoba untuk mengendalikan vektor dengue. Perlu diingat bahwa TSM ini pun bukan stand alone technique dan bukan teknik yang serba bisa.
"Jadi harus dikombinasikan dengan teknik lain, dalam kerangka dari integrated vector management. Perlu upscaling untuk kasus selanjutnya dengan menggunakan data entomologi dan data epidemiologinya. Diharapkan metode tersebut dapat menjadi bukti kuat untuk kita bawa ke tahap kebijakan selanjutnya," sebut Beni.
Â
Pengendalian Vektor Dengue di Indonesia
Kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indi Dharmayanti mengatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 390 juta infeksi dengue terjadi setiap tahun.
Sebanyak 96 juta kasus menunjukkan manifestasi secara klinis yang mengakibatkan penyakit parah, bahkan kematian.
"Dalam beberapa tahun terakhir telah dilakukan eksplorasi teknologi mutakhir dan pendekatan inovatif untuk memerangi penularan demam berdarah," kata Indi.
Indi menuturkan di antaranya sterile insect technique (SIT) atau teknik serangga mandul (TSM) sebagai salah satu upaya pengendalian vektor
Selain TSM, berbagai strategi dan teknologi inovatif lainnya telah muncul, termasuk pengendalian nyamuk berbasis Wolbachia, gene drive, insektisida baru, metode perangkap dan sterilisasi nyamuk vektor, serta intervensi berbasis masyarakat yang memanfaatkan teknologi digital.
"Pendekatan ini bertujuan tidak hanya untuk mengurangi populasi nyamuk tetapi juga untuk menargetkan perilaku spesifik atau mekanisme biologis yang penting untuk penularan demam berdarah. Sehingga menawarkan pendekatan terpadu untuk pengendalian vector," sebut Indi.
Sementara itu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Vektor Direktorat Surveillans dan Kekarantinaan Kesehatan Kemenkes RI, Yahiddin Selian menyebutkan pada 2023 ada 80 negara yang melaporkan lebih dari 5 juta kasus dengue dengan 5000 kematian akibat dengue, dan 80 persennya ada di wilayah Amerika.
Peningkatan risiko penularan dengue ini dipengaruhi oleh fenomena El-Nino pada 2023 dan perubahan iklim.
"Untuk Indonesia sendiri kasus demam berdarah ini sudah ada sejak 1968 yang saat itu hanya ada 2 kasus. Namun semakin tahun kasus ini semakin tinggi dan ada beberapa daerah yang tidak endemis pun terjangkit. Hal ini disebabkan beberapa hal, di antaranya karena mobilitas, dan yang paling intinya adalah keberadaan vektor di wilayah tersebut," kata Yahiddin.
Yahiddin juga mengatakan jika strategi pengendalian vektor DBD yang dapat dilakukan antara lain dengan surveilans habitat, surveilans kepadatan vektor, konfirmasi vektor, monitoring resistensi dan efikasi.
Selain itu dilakukan juga pengendalian secara fisik, biologi, kimia, dan pengendalian secara terpadu.
"Pengembangan penelitian dan inovasi pun dilakukan yaitu dengan teknologi nyamuk berwolbachia, dan penelitian tentang transovarian. Peran serta masyarakat dalam gerakan satu rumah satu jumantik dan kampung bebas jentik pun, merupakan strategi pengendalian yang diharapkan dapat mengurangi vektor DBD," ucap Yahiddin.
Pengendalian vektor secara fisik dilakukan dengan cara menggunakan atau menghilangkan material fisik untuk menurunkan populasi Vektor.
Pengendalian vektor ini dilakukan dengan 3M (menguras, menutup dan mengubur), pemasangan perangkap (ovitrap), pengunaan raket elektrik, pengunaan kawat kasa, kelambu, pengelolaan lingkungan (modifikasi dan manipulasi).
Kemudian pengendalian secara biologi dilakukan dengan memanfaatkan organisme yang bersifat predator dan organisme yang menghasikan toksin yaitu dengan ikanisasi, jentik toksor, dan bakteri Wolbachia.
"Untuk pengendalian vektor terpadu dilakukan dengan menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vector. Hal ini dilakukan berdasarkan azas keamanan, rasionalitas, dan efektifitas, serta mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya," terang Yahiddin.
Sedangkan, peneliti dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB, Intan Ahmad mengatakan, jika berbagai upaya pengendalian sudah dilakukan pemerintah, swasta, masyarakat sejak 1970.
Sayangnya ujar Ahmad, populasi nyamuk tetap tinggi dan dengue tetap menjadi masalah yang serius.
“Ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengendalian vektor dengue, di antaranya terkait kondisi geografis dan iklim yang lembab dan banyak hujan, kepadatan permukiman dan urbanisasi," terang Ahmad.
Ahmad menuturkan kepedulian dan partisipasi masyarakat yang masih rendah, resistensi terhadap insektisida, infrastruktur pelayanan kesehatan yang masih kurang menjadi salah stau pemicu lainnya.
Ahmad mengatakan upaya terintegrasi dan berkelanjutan yang masih belum maksimal, pendekatan baru dengan Wolbachia masih terjadi resistensi dan penolakan oleh sebagian masyarakat.
Advertisement