Kuartal IV, Tekanan terhadap Pasar Keuangan Negara Berkembang Mereda

PT Bahana Sekuritas juga prediksi aliran dana investor asing akan masuk besar ke negara berkembang pada 2020.

oleh Agustina Melani diperbarui 06 Nov 2018, 09:30 WIB
Diterbitkan 06 Nov 2018, 09:30 WIB
IHSG 30 Mei 2017 Ditutup Melemah 0,33 Persen
Sepanjang perdagangan hari ini (30/5), IHSG bergerak pada kisaran 5.693,39 - 5.730,06, Jakarta, Selasa (30/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Memasuki kuartal IV 2018, tekanan terhadap pasar keuangan di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia berangsur mereda.

Hal ini tampak dari arus modal yang kembali masuk ke pasar obligasi maupun saham.  Sepanjang pekan lalu, arus modal asing tercatat beli bersih (net buy) Rp 1,3 triliun di pasar saham.

Sementara di pasar obligasi, arus modal Rp 5,86 triliun. Adapun, nilai tukar rupiah menguat sebesar 1,72 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS) selama pekan lalu, dengan berada pada level 14.955 di pasar spot pada Jumat 2 November 2011. 

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, menyatakan arus modal asing kembali masuk (capital inflow) karena sentimen investor terhadap negara berkembang menjadi lebih baik. Selain itu, valuasi pasar negara berkembang sudah murah. 

"Investor masih yakin akan fundamental ekonomi Indonesia yang stabil. Meski terseret sentimen negatif, sebagai negara berkembang, Indonesia menunjukkan indikator ekonomi yang relatif kuat," ujar Budi dalam keterangan tertulis, Selasa (6/11/2018).

Penerimaan pajak hingga September lalu tumbuh 17 persen, menunjukkan Pemerintah masih mampu membiayai anggaran negara secara internal. Di samping itu, data domestik seperti penjualan mobil dan motor membaik. Kredit perbankan hingga September 2018 tumbuh 12,6 persen yoy,” tambah Budi.

Selain itu, valuasi Indonesia telah dianggap murah. Indeks Harga Saham Gabungan telah terkoreksi 7,07 persen sejak awal tahun (ytd). Sementara yield obligasi mencapai 8, 29 persen per tahun, yang artinya investor bisa memperoleh return di obligasi sebesar 8,29 persen per tahun.

"Koreksi di pasar saham yang cukup dalam membuat valuasi valuasi IHSG dan saham menjadi menarik. Investor pun mulai kembali untuk masuk ke pasar saham dan obligasi," tambah Budi. 

Sementara, nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar AS, tertopang dari harga minyak yang melemah, sehingga meringankan biaya impor minyak. 

"Defisit neraca minyak tetap menjadi masalah utama dari defisit neraca dagang alias current account deficit (CAD). Untuk itu, langkah Pemerintah untuk implementasi B20 sebagai bahan bakar alternatif harus segera diimplementasi," kata dia.

Rupiah juga menguat dengan hembusan ‘angin segar’ dari resolusi dari konflik dagang AS dengan Cina, meski tak sepenuhnya bisa memberi keyakinan pada pasar sebelum terealisasi. Mengutip Reuters, Trump dan Xi akan bertemu di sela pertemuan para pemimpin G20 untuk membahas perang dagang, pada akhir November, di Buenos Aires, Argentina. 

 

Arus Modal Asing Kian Besar Masuk ke Negara Berkembang

Terjebak di Zona Merah, IHSG Ditutup Naik 3,34 Poin
Pekerja melintasi layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Rabu (16/5). IHSG ditutup naik 3,34 poin atau 0,05 persen ke 5.841,46. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ke depan, Budi Hikmat meyakini jika arus modal asing akan semakin deras masuk ke emerging markets atau negara berkembang, termasuk Indonesia. 

"Di tahun 2020, banyak ekonom dan analis menduga pertumbuhan ekonomi negara berkembang itu lebih cepat dari negara maju. Laju perekonomian AS mulai melambat sebab beban pembayaran utang akibat kenaikan bunga menurunkan kapasitas belanja rumah tangga dan perusahaan," kata Budi.

"Perekonomian global yang lebih berimbang memungkinkan dolar AS berpotensi masuk ke siklus melemah. Diharapkan ada arus balik menuju emerging market yg sudah underperform dari negara maju cukup lama,” tutur Budi. 

Hal ini terlihat dari kekuatiran pasar ketika ekonomi AS yang sudah mature. Tingkat upah masyarakat di AS sudah tinggi, sementara The Federal Reserve (The Fed) memperketat likuiditas.

Amerika Serikat juga mengalami kesulitan karena utang sudah cukup besar, sementara daya beli masyarakat tak bagus. Ini akan menyebabkan investor memilih berinvestasi di emerging market. 

Akan tetapi, Budi mengimbau agar Pemerintah terus meningkatkan daya saing Indonesia. "Kita ini kurang produktif dan kompetitif,” tuturnya. 

Hal ini terlihat dari realisasi defisit neraca dagang atau current account deficit (CAD) Indonesia yang membesar. Salah satu faktor utama disebabkan membengkaknya biaya impor minyak yang lebih besar dari produksi.

Sekadar info, defisit neraca minyak selama periode Januari hingga September 2018 mencapai USD 14,6 miliar atau melonjak 41 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.  Ia juga menilai jika Indonesia masih kurang kompetitif. Hal ini terlihat dari rasio ekspor terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) turun.

Sementara, ekspor itu menghasilkan valas. Kalau rasio ekspor terhadap PDB turun, maka valas dalam negeri berkurang. Pasar sepi, sehingga mata uang cenderung melemah jika ada permintaan valas. 

Oleh karena itu, lanjut Budi, harus segera mendorong mesin penghasil valas, yakni dari sektor ekspor dan pariwisata. Mendorong alternatif BBM, yakni implementasi B20 dari kelapa sawit.

Dari segi ekonomi digital, Budi juga berharap agar kebijakan Industri 4.0 juga melibatkan usaha Kecil dan Menengah (UKM), agar tercipta trafik pasar dalam negeri yang ramai dan sebesar ecommerce raksasa Cina, Alibaba. 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya