Liputan6.com, Jakarta - Di tengah situasi yang tidak pasti akibat pandemi COVID-19, investor cenderung memilih berinvestasi dalam obligasi jangka pendek.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Utama Pefindo, Salyadi Saputra. Dalam paparannya, sepanjang semester I 2021, realisasi penerbitan obligasi korporasi paling banyak dengan tenor di bawah lima tahun.
"Kita masih melihat bahwa tenor 5 tahun ke bawah itu masih mendominasi. Fenomena ini terjadi karena kondisi yang sangat tidak pasti seperti sekarang. Ini yang mendorong orang dari sisi investor melihat investment horizonnya mereka akan memperpendek karena banyak ketidakpastian," kata dia dalam  Media Conference, Kamis (8/7/2021).
Advertisement
"Takutnya nanti kalau mereka lock investasinya di instrumen yang panjang tentunya susah untuk dikeluarkan," ia menambahkan.
Baca Juga
Hingga semester I-2021, Salyadi mengungkapkan obligasi korporasi tenor 1 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun hampir mencakup 91 persen dari total nilai penerbitan. Rinciannya, paling banyak tenor 3 tahun sebesar 41,1 persen. Disusul tenor 1 tahun sebesar 34,0 persen, dan tenor 5 tahun sebesar 15,7 persen. Sementara sisanya merupakan tenor 2 tahun sebesar 0,9 persen.
"Kita bisa mengerti kenapa seperti ini. Walaupun untuk jangka panjang kondisi seperti ini sebetulnya kurang ideal. Idealnya itu tenornya harusnya jangka panjang. Mudah-mudahan dengan membaiknya situasi perekonomian juga orang punya confidence yang jauh lebih bagus untuk yang medium-long term," kata dia.
Salyadi mencermati, setiap ada ketidakpastian, investor akan cenderung memperpendek investment horizonnya bisa sependek mungkin. "Kalau ada obligasi kurang dari setahun, mungkin mereka akan lihat juga. Tapi tidak mungkin," kelakarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Pemeringkatan Obligasi
Sementara berdasarkan pemeringkatannya didominasi oleh peringkat A (single A) dan AAA (triple A). Dengan porsi masing-masingnya secara berturut-turut 40 persen dan 35 persen dari total nilai penerbitan obligasi korporasi.
Sulyadi menjelaskan, berdasarkan informasi yang didapatkan selama proses bookbuilding, obligasi dengan pemeringkatan AAA acap diikuti ekspektasi mengenai tingkat kupon rendah.
"Kalau yang AAA itu pasti ekspektasi kuponnya itu rendah. Karena mereka pikir yang kualitasnya bagus yang punya punya reputasi bagus yang mempunyai maintenance investor yang cukup baik dalam kondisi seperti sekarang itu kan tidak banyak sebetulnya. Jadi yang AAA cenderung merasa bahwa mereka punya kesempatan untuk menekan atau mendapatkan kupon yang bagus sekali," kata dia.
Selain itu, juga karena obligasi dengan pemeringkatan AAA sebetulnya merupakan perusahaan-perusahaan yang bagus dari segi kredit. Bahkan perbankan pun sebetulnya standby untuk perusahaan-perusahaan tersebut.
"Jadi perusahaan AAA ini punya fleksibilitas yang sangat baik. Sehingga mereka waktu terbitkan obligasi ini maunya kuponnya sangat rendah. Apalagi mereka tahu, deposito sekarang berapa sih return investment-nya," ujar Salyadi.
Adapun untuk obligasi dengan peringkat A, Salyadi menilai, penerimaan investor dari segi kupon itu jauh lebih baik. Kendari dari sisi risiko lebih besar dibandingkan obligasi dengan peringkat AAA.
"Oleh karena itu kalau kita lihat memang A dan AA ini porsinya malah meningkat. Jadi bukan yang AAA ini tidak menarik dari segi risiko credit quality-nya, sebetulnya dari sisi kuponnya. Sementara investor tidak banyak pilihan instrumen yang bisa menyediakan return bagus dengan kondisi sekarang ini," ujar dia.
Untuk obligasi dengan peringkat AA mencatatkan 20,3 persen dari total penerbitan. Raihan itu naik dari tahun sebelumnya sebesar 16,4 persen. Berbanding terbalik dengan obligasi dengan peringkat AAA yang sebenarnya mengalami penurunan dari porsi sebelumnya 47,4 persen di 2020.
Advertisement