Mandiri Investasi Prediksi IHSG Bakal Sentuh 7.800-8.100 pada 2022

Faktor global dan domestik membayangi laju IHSG 2022.

oleh Elga Nurmutia diperbarui 26 Agu 2022, 08:23 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2022, 08:23 WIB
20170210- IHSG Ditutup Stagnan- Bursa Efek Indonesia-Jakarta- Angga Yuniar
Indeks sempat meraih level tertinggi di 5.399,99 dan terendah di 5.371,67 sepanjang perdagangan hari ini, Jakarta, Jumat (10/2). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama Mandiri Investasi, Aliyahdin Saugi atau Adi menjelaskan dalam menyikapi dan melakukan strategi di tengah kondisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang fluktuatif dalam mengelola aset kelolaan Mandiri Investasi tidak bersikap reaktif.

Akan tetapi, sudah mengantisipasi kondisi pasar seperti yang terjadi sekarang dengan cara menyiapkan produk yang sesuai dengan kebutuhan investasi nasabah. 

"Tentu dengan kondisi volatile tidak akan memengaruhi investor yang memiliki time horizon yang panjang, namun untuk investor dana jangka pendek dan menengah dapat melakukan aset alokasi ke pendapatan tetap atau pasar uang (money market),” kata Aliyahdin dalam keterangan resminya, Kamis (25/8/2022).

Adi menambahkan, sebagai negara emerging market serta kestabilan ekonomi dan fiskal yang kuat tentu Indonesia merupakan negara yang sangat menarik untuk menjadi tempat investasi para manajer investasi global. 

"Hal ini juga terlihat dari rasio PE rata-rata saham di Indonesia yang masih jauh di bawah negara maju, yang artinya masih memiliki potensi pertumbuhan yang sangat tinggi,” ungkapnya.

Sementara itu, tim riset Mandiri Investasi memperkirakan IHSG pada akhir 2022 berada di kisaran 7.800-8.100. Lalu, masih ada peluang kenaikan di kisaran ada 600-1.000 poin. Namun, tentu banyak faktor global yang dapat memengaruhi pergerakan IHSG tersebut, baik domestik maupun secara global. 

"Sebagai salah satu perusahaan pengelola aset investasi terbesar di Indonesia dengan total AUM sebesar Rp 43 triliun per Juni 2022, untuk mencapai target akhir tahun, strategi produk Mandiri Investasi adalah dengan menciptakan varian produk flagship yang meliputi seluruh asset class, yaitu pasar uang, pendapatan tetap, dan saham, yang termasuk di dalamnya indeks, serta juga tersedia dalam mata uang rupiah dan USD di seluruh asset class tersebut,” kata Adi.

 

Strategi

IHSG Menguat 11 Poin di Awal Tahun 2018
Suasana pergerakan perdagangan saham perdana tahun 2018 di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (2/1). Perdagangan bursa saham 2018 dibuka pada level 6.366 poin, angka tersebut naik 11 poin. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kemudian, jika varian-varian tersebut tersedia dan bisa diakses oleh investor, akan tercipta MMI Product Ecosystem, yang bisa mengakomodasi semua kebutuhan, dan profil risiko nasabah.

“Melalui strategi tersebut hingga semester I 2022 terdapat perbaikan kinerja Mandiri Investasi terutama di kelas aset saham offshore dan USD, yang dalam hal ini adalah produk Mandiri Global Syariah Equity Dollar (MGSED) dalam tiga bulan terakhir MGSED mampu mencetak kinerja 10-11 persen,” ujar dia.

Untuk mengantisipasi perkembangan gaya hidup digital di masyarakat Mandiri Investasi bekerjasama dengan hampir semua platform fintech yang ada di masyarakat. Mandiri Investasi juga telah memiliki platform penjualan produk reksa dana milik Mandiri Investasi sendiri yaitu Moinves. 

"Melalui platform Moinves ini, nasabah dapat langsung berinvestasi. Bahkan produk terbaru Mandiri Investasi, yaitu reksa dana index FTSE ESG, dapat dibeli di Moinves. Promo-promo di Moinves juga banyak, misalnya promo gajian, dan promo autodebet dari rekening Bank Mandiri,” ujar Adi.

Kinerja IHSG Jadi Nomor Satu di Asia, Sektor Saham Ini Penopangnya

IHSG Ditutup Menguat
Karyawan memfoto layar pergerakan IHSG, Jakarta, Rabu (3/8/2022). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia, Rabu (3/08/2022), ditutup di level 7046,63. IHSG menguat 58,47 poin atau 0,0084 persen dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di nomor satu di Asia. Analis menilai hal tersebut ditopang oleh sektor saham perbankan dan komoditas.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (24/8/2022), IHSG naik 9,32 persen year to date (ytd) ke posisi 7.194,71. Pada Rabu pekan ini, IHSG menguat 0,44 persen. IHSG pun berada di peringkat pertama di ASEAN dan Asia Pasifik.

Mayoritas sektor saham menghijau yang dipimpin sektor saham energi melonjak 63,21 persen secara year to date. Diikuti sektor saham industri dan sektor saham transportasi hingga logistik.

Investor asing membukukan aksi beli saham Rp 820,99 miliar. Sepanjang 2022, investor asing melakukan aksi beli saham bersih Rp 65,79 triliun.

Analis Kiwoom Sekuritas, Abdul Azis mengatakan, kinerja IHSG saat menjadi nomor satu memang sangat baik. Hal ini karena faktor fundamental Indonesia yang masih kuat serta didorong dengan kenaikan suku bunga, yang mana hal tersebut diharapkan oleh pelaku pasar.

"Saham sektor perbankan dan sektor komoditas masih menjadi penopang kinerja IHSG,” kata Abdul kepada Liputan6.com, Rabu, 24 Agustus 2022.

Sedangkan, aliran modal asing masih dapat mencatatkan aksi beli hingga akhir tahun. Hal ini dikarenakan faktor fundamental Indonesia yang masih kuat.

"Walaupun begitu ketidakpastian global masih menjadi bayang-bayang pergerakan IHSG, seperti kenaikan suku bunga The Fed, serta melambatnya pertumbuhan beberapa ekonomi negara besar,” ujar dia.

Abdul menegaskan, investor perlu mewaspadai sektor-sektor yang sudah mengalami kenaikan cukup tinggi.

"Investor bisa mencermati sektor-sektor yang masih undervalue, seperti sektor konstruksi dan properti,” kata dia.

Didukung Harga Komoditas

IHSG Menguat 11 Poin di Awal Tahun 2018
Suasana di salah satu ruangan di kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (2/1). Sebelumnya, Perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 2017 ditutup pada level 6.355,65 poin. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara itu, Analis Jasa Utama Capital Sekuritas, Cheryl Tanuwijaya mengungkapkan, kinerja IHSG menjadi nomor satu di Asia karena Indonesia merupakan negara produsen komoditas.

"Hal ini wajar karena Indonesia adalah negara produsen komoditas dimana saat ini kenaikan harga komoditas pangan dan energi yang menjadi masalah utama negara-negara AS dan Eropa. Sedangkan, Indonesia justru diuntungkan dari tingginya harga komoditas tersebut, sehingga kenaikan ini ditopang oleh sektor energi, transportasi dan perindustrian,” kata Cheryl.

Cheryl menuturkan, dana asing berpotensi masih masuk ke Indonesia karena pemulihan ekonomi domestik yang terus berlanjut bisa meminimalisir berbagai risiko emiten, seperti inflasi dan kenaikan suku bunga.

"Pemerintah juga tanggap dengan mengambil langkah menaikan suku bunga acuan agar spread suku bunga BI dan AS tidak semakin jauh sehingga mencegah aliran dana asing keluar," ujar dia.

Cheryl menambahkan, di sisi lain, pasar modal Indonesia juga memiliki berbagai tantangan yaitu kenaikan harga BBM yang bisa menekan daya beli, tingginya harga komoditas impor, kebijakan moneter AS yang agresif, potensi resesi pada negara mitra dagang Indonesia. 

Meskipun demikian, pelaku pasar masih bisa mencermati saham antara lain BBCA, BBRI, BMRI, ITMG, HRUM, dan PTBA.

“Investor bisa cermati saham-saham yang diuntungkan seperti, perbankan dan sektor energi. Saham-saham nya BBCA, BBRI, BMRI, ITMG, HRUM, PTBA,” kata dia.

Kondisi yang Stabil

Jelang Hasil The Fed, IHSG Naik 74 Poin
Ada sebanyak 190 saham menghijau sehingga mendukung penguatan ke level 4.483,45.

Tak hanya itu, Analis PT Binaartha Sekuritas, Ivan Rosanova mengungkapkan, kinerja IHSG mencerminkan kondisi yang stabil dalam masa pemulihan pasca pandemi yang menerpa negara-negara di dunia dan gambaran tingkat kepercayaan investor yang tinggi.

"IHSG sangat ditopang oleh kinerja banyak emiten yang membaik setelah kondisi yang sulit di 2020, serta booming harga komoditas, sektor yang menopang diantaranya energi, keuangan dan consumer non cyclical yang mulai bangkit di awal tahun,” kata Ivan.

Meskipun demikian, Ivan mengatakan, yang berpotensi menjadi pemberat atau penghambat mulai dari kenaikan suku bunga, potensi naiknya harga BBM dan potensi lain yang dapat meningkatkan biaya operasional perseroan dalam jangka pendeknya tentu butuh adanya penyesuaian yang dapat memberi pengaruh terhadap kinerja emiten.

"Sejauh ini masih menarik untuk mencermati saham-saham energi di tengah kebutuhan yang tinggi dan kendala supply yang dapat terjadi bisa berpengaruh pada kenaikan harga komoditas," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya