Menakar Efek Potensi Kenaikan Harga BBM terhadap IHSG

Bagaimana dampak potensi kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)?

oleh Agustina Melani diperbarui 28 Agu 2022, 11:13 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2022, 11:13 WIB
20151102-IHSG-Masih-Berkutat-di-Zona-Merah-Jakarta
Suasana di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (2/11/2015). Pelemahan indeks BEI ini seiring dengan melemahnya laju bursa saham di kawasan Asia serta laporan kinerja emiten triwulan III yang melambat. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Sentimen harga bahan bakar minyak (BBM) membayangi laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Dalam jangka pendek, IHSG diprediksi melemah imbas kenaikan harga BBM bersubsidi. Namun, hal itu akan kurangi risiko terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, hingga Juli 2022, volume bensin dan solar bersubsidi (Pertalite dan solar) telah dikonsumsi pada tingkat lebih tinggi dari yang dialokasikan mencapai sekitar 73 persen dan 66 persen dari alokasi BBM bersubsidi. Ini sebagian besar karena pemulihan mobilitas serta memperlebar kesenjangan harga dengan bahan bakar berkualitas lebih tinggi.

“Jika kuota untuk 2022 akan tetap tidak berubah, berdasarkan Juli 2022, angka bulanan konsumsi Pertalite dan solar harus berkurang masing-masing sekitar 29 persen dan 48 persen menunjukkan konsumen perlu memakai lebih tinggi bahan alternatif yang akan menjadi 63 persen dan 24 persen lebih mahal,” tulis Ashmore.

Lalu mempertahankan atau menaikkan harga BBM bersubsdii?

Mengutip riset Ashmore, mempertahankan harga BBM bersubsidi saat ini bisa dicapai dengan meningkatkan anggaran 2022, tetapi ini akan berdampak negatif pada anggaran 2023 sebagai gantinya. Selain itu, bisa juga dicapai dengan mengontrol volume pasokan bahan bakar secara ketat. Namun, hal ini dapat mengurangi kekuatan pembelian dengan memaksa konsumen membeli bahan bakar lebih mahal sebagai alternatif.

Di sisi lain, meningkatkan harga bahan bakar bersubsidi akan membantu mengurangi risiko terhadap APBN 2023 dengan menghemat Rp 25 triliun pada anggaran 2022 dan Rp 111 triliun pada anggaran 2023. Namun, hal itu akan meningkatkan inflasi sehingga kurangi daya beli secara keseluruhan.

 

Data Ekonomi yang Dirilis Pekan Ini

Pembukaan Awal Tahun 2022 IHSG Menguat
Pekerja melintas di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Senin (3/1/2022). Pada pembukan perdagagangan bursa saham 2022 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung menguat 7,0 poin atau 0,11% di level Rp6.588,57. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lalu bagaimana dampak ke pasar?

Secara historis, kenaikan harga BBM bersubsidi biasanya diikuti oleh koreksi jangka pendek dalam IHSG, tergantung pada kenaikan serta kinerja IHSG secara historis.

"Jika ini akan terjadi lagi, kitab isa berharap IHSG melemah dalam jangka pendek tetapi sejak kenaikan akan mengurangi risiko terhadap APBN 2023, kami mengharapkan kinerja IHSG tetap tangguh terhadap tantangan 2023," tulis Ashmore.

Pada pekan ini, ada sejumlah data ekonomi global yang dirilis antara lain:

-Dari Amerika Serikat, ekonomi AS alami kontraksi tahunan 0,6 persen pada kuartal II 2022. Turun kurang dari 0,9 persen dari perkiraan sebelumnya, karena revisi belanja konsumen dan persediaan.

-The S&P Global Eurozone Manufacturing PMI melemah ke 49,7 pada Agustus 2022 dari 49,8 pada Juli 2022, demikian perkiraan awal menunjukkan.

 

Data Ekonomi Lainnya

Pembukaan-Saham
Pengunjung tengah melintasi layar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (13/2). Pembukaan perdagangan bursa hari ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat menguat 0,57% atau 30,45 poin ke level 5.402,44. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

-Indikator the GfK Konsumen Jerman turun ke rekor terendah baru minus 36,5 pada September 2022 direvisi minus 30,9 pada bulan sebelumnya dan perkiraan pasar minus 31,8.

-Bank sentral China menurunkan suku bunga pinjaman pada Agustus 2022. Ini pengurangan kedua pada 2022. Pinjaman satu tahun didorong lima basis poin ke posisi 3,65 persen. Sedangkan bunga pinjaman lima tahun dipangkas untuk kedua kalinya pada 2022 sebesar 15 basis poin menjadi 4,3 persen.

-Bank of Korea menaikkan bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 2,5 persen pada Agustus 2022.

-Bank sentral Jepang mempertahankan suku bunga jangka pendek minus 0,1 persen dan imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun sekitar 0 persen selama Juli 2022. Bank sentral Jepang juga memangkas produk domestik bruto (PDB) 2022 menjadi 2,4 persen dari 2,9 persen yang ditargetkan pada April 2022.

-Secara mengejutkan, Bank Indonesia menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 3,75 persen pada pertemuan Agustus 2022. Ini kenaikan suku bunga pertama sejak 2018, karena berusaha untuk menjinakkan inflasi yang tidak terkendali dan memperkuat nilai tukar rupiah.

Alasan Indonesia Jadi Permata di Negara Berkembang

FOTO: IHSG Akhir Tahun Ditutup Melemah
Papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (30/12/2020). Pada penutupan akhir tahun, IHSG ditutup melemah 0,95 persen ke level 5.979,07. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Indonesia bak permata di jajaran negara berkembang saat ini, baik di pasar ekuitas maupun obligasi. Head of Fixed Income, Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar CFA. MBA menilai pasar Indonesia masih menjadi pilihan prioritas investor asing untuk melarikan uangnya.

"Kalau kita bicara sama semua investor asing di dunia, Indonesia itu tetap nomor satu prioritas di emerging market,” kata dia dalam webinar Money Buzz, Selasa, 23 Agustus 2022.

Hal itu merujuk pada kondisi dalam negeri yang cenderung stabil kendati diterpa berbagai sentimen global saat ini. Baik dari sisi ekonomi, politik, current account deficit (CAD) yang terjaga, dan pembenahan ekonomi yang baik.

"Jadi semua ini membuat Indonesia itu di mata investor asing itu sangat luar biasa. Kita hanya lagi menunggu Kapan uang itu mulai pindah dari negara maju ke negar aberkembang lagi,” imbuh dia.

Anil mengatakan, saat ini banyak investor yang berpaling dari pasar negara berkembang (emerging market) dan merapat pada pasar negara maju.

Dia menilai, hal itu ditengarai adanya normalisasi negara maju yang belum dilakukan oleh negara. Jika nanti emerging market menempuh langkah serupa, investor disebut akan kembali melirik pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Tapi percayalah ketika Bank Sentral AS sudah mulai bisa mengontrol inflasi dan setop melakukan normalisasi, uang itu akan kembali ke Indonesia,” ujar Anil.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya