Liputan6.com, Jakarta - PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) angkat suara terkait rencana pemisahan atau spin off Unit Usaha Syariah (UUS) milik PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN).
Sekretaris Perusahaan PT Bank Syariah Indonesia Tbk, Gunawan A. Hartoyo mengungkapkan perseroan masih terus mengkaji dan belum mengambil keputusan apapun terkait rencana aksi korporasi tersebut.
Baca Juga
"Sehubungan dengan pemberitaan di media tentang aksi korporasi yang akan dilakukan terhadap UUS BTN yang melibatkan BSI, kami sampaikan bahwa hingga saat ini kami belum membuat keputusan apapun terkait hal tersebut,” kata Gunawan dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (9/8/2023).
Advertisement
Sebelumnya, BTN menyatakan siap mengakuisisi salah satu bank sebagai strategi pemisahan atau spin off UUS BTN. Rencananya, strategi spin off bakal diikuti oleh penggabungan BTN dengan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI). Namun sebagai perusahaan terbuka, BSI senantiasa tunduk pada ketentuan Pasar Modal.
Di mana informasi material baru akan dipublikasikan jika telah ada kepastian, dalam rangka mendukung prinsip keterbukaan informasi bagi pemegang saham. "Saat ini BSI sedang fokus untuk memperkuat bisnis secara organic guna mendukung visi menjadikan BSI sebagai salah satu top ten global Islamic Bank.
Langkah spin off oleh BTN ini diambil diambil setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan Peraturan OJK (POJK) 12/2023 terkait spin off Unit Usaha Syariah.
Regulasi tersebut mewajibkan UUS dengan nilai aset 50 persen dari bank umum konvensional (BUK) atau memiliki jumlah aset minimal Rp 50 triliun menyampaikan permohonan izin atau persetujuan paling lama 2 tahun setelah POJK diterbikan untuk menjadi entitas sendiri. Di sisi lain, nilai aset BTN Syariah terpantau mengalami pertumbuhan. Pada semester I 2023, aset perbankan melonjak 14,69 persen menjadi Rp 46,27 triliun.
Pada periode sama tahun sebelumnya, nilai aset BTN Syariah tercatat sebesar Rp 40,35 triliun. Mulanya, UUS BTN Syariah ditarget bisa melakukan aksi spin off pada akhir tahun ini. Namun, aksi korporasi ini tak lantas mempermudah BTN Syariah bergabung atau merger ke Bank Syariah Indonesia (BSI).
Skema Pengalihan Aset Perlu Sejumlah Langkah
Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu mengungkapkan, langkah merger melalui skema pengalihan aset tidak lantas bisa langsung diterapkan oleh BTN Syariah. Lantaran , ada sejumlah hal kompleks yang perlu diselesaikan.
"Karena kalau pengalihan aset nanti ada banyak sekali harus di-akad ulang semua, karena dulu jual belinya kan sama BTN, ini jadi ribet," kata dia, mengutip pemberitaan Liputan6.com sebelumnya.
Kedua, ada tantangan dari sisi administrasi juga yang perlu diperhatikan.
Misalnya, menyoal akad kredit pemilikan rumah (KPR) yang juga dilayani BTN Syariah. Panjangnya tenor kontrak KPR ini menjadi tantangan, seperti urusan penerbitan sertifikatnya. Ketiga, ada aspek pajak yang juga jadi perhatian penting Nixon. Dia menilai, biaya pajak yang harus dibayarkan ketika melakukan akse merger dengan pengalihan aset bakal merogoh kocek yang cukup dalam.
"Nah itungan kita itu sampai Rp 5-6 T, padahal transaksi kita cuma berapa. Nah ini yang akhirnya dengan (kementerian) BUMN disepakati, ya ini spin off dulu, lagi POJK nya juga mendorong itu, baru nanti akan ada kerja sama dengan BSI dalam bentuk equity, bukan lagi mindahin aset gitu yang berisiko cukup tinggi," ujar dia.
Sehingga, solusi yang akan diambil setelah BTN Syariah menjadi entitas bank umum syariah (BUS) adalah kerja sama ekuitas dengan Bank Syariah Indonesia. Ini sama halnya dengan yang sudah dilakukan perbankan syariah di lingkungan BUMN sebelumnya. "Jadi solusinya clear dan itu lebih baik. Karena yang 3 syariah sebelumnya juga kan bahkan equity bukan pengalihan aset. Jadi pakemnya miripin dulu," tegas Nixon.
Advertisement
BTN Syariah Tak Bisa Langsung Merger ke BSI Meski Direstui Spin-Off, Kenapa?
Sebelumnya, Unit Usaha Syariah (UUS) Bank Tabungan Negara atau BTN Syariah ditarget bisa melakukan aksi spin off pada akhir tahun ini. Namun, aksi korporasi ini tak lantas mempermudah BTN Syariah bergabung atau merger ke Bank Syariah Indonesia (BSI).
Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu mengungkapkan, langkah merger melalui skema pengalihan aset tidak lantas bisa langsung diterapkan oleh BTN Syariah. Pasalnya, ada sejumlah hal kompleks yang perlu diselesaikan.
"Karena kalau pengalihan aset nanti ada banyak sekali harus di-akad ulang semua, karena dulu jual belinya kan sama BTN, ini jadi ribet," kata dia saat ditemui di Jakarta, Selasa (25/7/2023).
Kedua, ada tantangan dari sisi administrasi juga yang perlu diperhatikan. Misalnya, menyoal akad kredit pemilikan rumah (KPR) yang juga dilayani BTN Syariah. Panjangnya tenor kontrak KPR ini menjadi tantangan, seperti urusan penerbitan sertifikatnya.
Aspek Pajak
Ketiga, ada aspek pajak yang juga jadi perhatian penting Nixon. Dia menilai, biaya pajak yang harus dibayarkan ketika melakukan akse merger dengan pengalihan aset bakal merogoh kocek yang cukup dalam.
"Nah itungan kita itu sampai Rp 5-6 T, padahal transaksi kita cuma berapa. Nah ini yang akhirnya dengan (kementerian) BUMN disepakati, ya ini spin off dulu, lagi POJK nya juga mendorong itu, baru nanti akan ada kerja smaa dengan BSI dalam bentuk equity, bukan lagi mindahin aset gitu yang berisiko cukup tinggi," jelasnya.
Sehingga, solusi yang akan diambil setelah BTN Syariah menjadi entitas bank umum syariah (BUS) adalah kerja sama ekuitas dengan Bank Syariah Indonesia. Ini sama halnya dengan yang sudah dilakukan perbankan syariah di lingkungan BUMN sebelumnya. "Jadi solusinya clear sih dan itu lebih baik. Karena yang 3 syariah sebelumnya juga kan bahkan equity bukan pengalihan aset. Jadi pakemnya miripin dulu," tegasnya.
Advertisement