Liputan6.com, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) mewajibkan perusahaan tercatat atau emiten untuk memenuhi ketentuan free float atau minimal jumlah saham yang beredar di masyarakat sebesar 7,5 persen. Angka itu setara dengan 50 juta saham.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menuturkan, pihaknya terus memantau perusahaan tercatat dalam memenuhi free float hingga Desember 2023. Selain itu, BEI juga akan melihat tindakan korporasi dari emiten ini seperti apa.
Advertisement
Baca Juga
"Saat ini kami ingin melihat ini list yang mana saja yang sudah mencoba untuk melakukan tindakan korporasi maupun shareholder action. Kan ada dua ya, ada tindakan korporasi yang dilakukan oleh korporasinya sendiri atau shareholder action," kata Nyoman saat ditemui di BEI, ditulis Sabtu (23/12/2023).
Advertisement
Dia bilang, misalnya, pemegang saham pengendali melakukan tindakan, sehingga pemenuhan atas free float dapat tercapai.
Setelah itu, BEI juga memperhatikan jika ada seperti shareholder action, apa yang mereka lakukan.
"Kalau aksi korporasi kan mesti laporan ke kita gitu ya. Untuk beberapa hal yang shareholder action kan mereka bisa lakukan penjualan di market gitu untuk beberapa persentase saham," kata dia.
Free Float Saham BTPN
Sebelumnya diberitakan, manajemen BTPN mengumumkan pemegang saham Perseroan Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC) telah menjual saham BTPN dalam rangka memenuhi free float atau saham di publik.
Mengutip keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Sabtu, 16 Desember 2023, SMBC menjual 200 juta saham dengan harga penjualan Rp 2.600 per saham pada 12 Desember 2023. Dengan demikian, nilai penjualan saham tersebut Rp 520 miliar.
Sekretaris Perusahaan PT Bank BTPN Tbk, Eneng Yulie Andriani menulis, tujuan dari transaksi tersebut untuk memenuhi ketentuan I.22 dari Peraturan BEI Nomor I-A yang merupakan lampiran I dari keputusan Direksi BEI Nomor Kep: 00101/BEI/12-2021 pada 21 Desember 2023 mengenai jumlah saham free float.
Setelah penjualan saham tersebut, SMBC memiliki 7.332.311.297 saham atau setara 89,98 persen. Sebelumnya, SMBC mengenggam 7.532.311.297 saham atau setara 92,43 persen.
Pemegang Saham
Setelah transaksi itu, komposisi kepemilikan saham baru BTPN antara lain Sumitomo Mitsui Banking Corporation sebesar 89,98 persen, PT Bank Negara Indonesia Tbk sebesar 0,15 persen, PT Bank Central Asia Tbk sebesar 1,02 persen, publik sebesar 7,72 persen dan saham treasuri sebesar 1,13 persen.
Pada penutupan perdagangan saham Jumat, 15 Desember 2023, saham BTPN naik 0,38 persen ke posisi Rp 2.630 per saham. Saham BTPN dibuka turun 20 poin ke posisi Rp 2.600 per saham. Saham BTPN berada di level tertinggi Rp 2.630 dan terendah Rp 2.600 per saham. Total frekuensi perdagangan 16 kali dengan volume perdagangan 602 saham. Nilai transaksi Rp 156,8 juta.
Sebelumnya SMBC, salah satu bank terbesar di Jepang memiliki 96,9 persen saham BTPN pada Januari 2019 dari sebelumnya 39,9 persen.
Kenaikan porsi kepemilikan saham tersebut menyusul pelaksanaan penawaran pembelian saham kepada pemegang saham BTPN sehubungan merger atau penggabungan dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia yang efektif pada 1 Februari 2019. BTPN pun menjadi bank hasil penggabungan. PT Bank Tabungan Pensiunan Negara Tbk pun berganti nama menjadi PT Bank BTPN Tbk.
Advertisement
BEI Sebut Emiten Tak Penuhi Aturan Free Float Akan Masuk Papan Pemantauan Khusus
Sebelumnya diberitakan, Bursa Efek Indonesia (BEI) mengharuskan perusahaan tercatat atau emiten untuk memenuhi ketentuan free float atau minimal jumlah saham yang beredar di masyarakat sebesar 7,5 persen. Angka itu setara dengan 50 juta saham.
Melalui ketentuan tersebut, aturan ini wajib dipenuhi emiten sebelum tenggat waktu 21 Desember 2023. Sebab, free float ini menjadi salah satu syarat agar emiten bisa tetap tercatat di BEI.
Apabila terdapat perusahaan yang tidak memiliki upaya pemenuhan ketentuan free float itu, perusahaan tersebut akan masuk dalam papan pemantauan khusus atau diberikan notasi X.
"Untuk perusahaan-perusahaan yang sama sekali tidak upaya. Ibaratnya kalau kalimat sederhananya kalau mahasiswa itu yaudah diem aja enggak ngapa-ngapain. Ya itu akan kita masukan ke papan pemantauan khusus sebagai bagian dari perusahaan-perusahaan yang sahamnya tidak memenuhi ketentuan," kata dia.
Sementara itu, BEI juga tidak akan memperpanjang tenggat waktu pemenuhan free float bagi emiten. Ini mengingat, Bursa telah memberikan waktu yang lama, yaitu 24 bulan atau 2 tahun.
"Singkat kata begini pada saat nanti kita asses posisi terakhir di batas waktu kami akan melihat apa saja yang mereka sudah lakukan termasuk kalau tindakan korporasi apakah sudah mereka menyampaikan announcement kalau itu terkait rapat umum pemegang saham apakah sudah dilakukan atau tidak, itu menjadi bagian tidak terpisah dari assesment kita," imbuhnya.
Meski demikian, masih ada sejumlah perusahaan yang belum memenuhi ketentuan free float. Namun, hingga saat ini di papan pemantauan khusus belum ada nama emiten yang belum penuhi aturan tersebut.
Revisi Peraturan BEI Terkait Pencatatan
Sebelumnya diberitakan, Bursa Efek Indonesia (BEI) masih terus menggodok aturan baru untuk mengakomodir penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) perusahaan rintisan atau startup. Adapun aturan itu nantinya akan tertuang dalam Revisi Peraturan Bursa No I-A terkait pencatatan saham dan efek bersifat ekuitas.
Sementara menunggu finalisasi revisi Peraturan BEI No I-A, ketentuan sebelumnya, termasuk mengenai free float 7,5 persen masih berlaku.
"Pengaturan saat ini, bahwa minimum persentase saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dan pemegang saham utama ditentukan tergantung dari besaran nilai ekuitas suatu perusahaan,” ujar Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna kepada awak media, ditulis Jumat (18/6/2021).
Adapun hal itu diatur dengan nilai ekuitas secara berjenjang. Mulai kurang dari Rp 500 miliar, Rp 500 miliar hingga Rp 2 triliun, dan lebih dari Rp 2 triliun. Sehingga minimum persentase besaran yang harus dimiliki oleh pemegang saham bukan pengendali dan bukan pemegang saham utama adalah sebesar 20 persen, 15 persen, dan 10 persen.
Nyoman menambahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyusun RPOJK terkait pelaksanaan penawaran umum dengan perusahaan yang menerapkan multiple voting shares (MVS) atau Saham dengan Hak Suara Multipel (SHSM). Terkait itu, Nyoman mengatakan BEI turut memberikan tanggapan dan masukan atas RPOJK SHSM.
"Seiring dengan proses penyusunan RPOJK SHSM, tentunya apabila diperlukan, BEI akan merancang pengaturan pelaksana untuk RPOJK tersebut terkait hal-hal teknis seperti pengaturan pencatatan dan perdagangan,” kata dia.
Advertisement