Liputan6.com, Jakarta - Saham Advanced Micro Devices (AMD) dan Intel merosot pada Jumat, 12 April 2024 setelah The Wall Street Journal melaporkan China memerintahkan operator telekomunikasi terbesar di negara itu untuk menghentikan penggunaan chip asing.
Dilansir dari CNBC Sabtu (13/4/2024), pejabat Tiongkok mengeluarkan arahan awal tahun ini agar sistem telekomunikasi menggantikan prosesor inti non-Tiongkok pada 2027. Laporan tersebut mengatakan mandat tersebut akan berdampak pada AMD dan Intel.
Baca Juga
Saham AMD ditutup turun 4,2% pada Jumat di level USD 163,28 atau setara Rp 2,6 juta (asumsi kurs Rp 16.117 per dolar AS) sementara Intel turun 5,2% menjadi USD 35,69 atau setara Rp 575.244.
Advertisement
Kedua pihak tidak mengomentari arahan di Tiongkok tersebut. Tiongkok menyumbang 27% pendapatan Intel pada 2023, menjadikannya pasar terbesar perusahaan. AMD menghasilkan 15% penjualan dari Tiongkok, termasuk Hong Kong, tahun lalu.
Ketergantungan mereka pada Tiongkok menggarisbawahi pentingnya perekonomian negara terbesar kedua di dunia ini meskipun terdapat peraturan AS yang bertujuan membatasi ekspor chip ke negara tersebut dan upaya Tiongkok untuk tidak terlalu bergantung pada teknologi asing.
Tiongkok menetapkan pedoman baru pada bulan Desember untuk menghapus chip AS dari komputer dan server pemerintah, memblokir prosesor dari AMD dan Intel, Financial Times melaporkan bulan lalu.
Pada Oktober 2022, Amerika Serikat menerapkan peraturan yang dirancang untuk membatasi akses Tiongkok terhadap chip-chip canggih Amerika, terutama yang penting bagi teknologi kecerdasan buatan.
Akhir tahun lalu, AS mengumumkan pembatasan baru untuk mencegah penjualan lebih banyak chip AI ke Tiongkok, sebagai upaya untuk menutup celah yang ada pada aturan sebelumnya.
China Blokir Chip Intel dan AMD di Komputer Pemerintah
Sebelumnya diberitakan, China merilis pedoman baru telah meluncurkan pedoman baru yang akan hapus secara bertahap prosesor Amerika Serikat di komputer dan server pemerintah. Dengan demikian, China efektif memblokir chip dari Intel dan AMD.
Demikian laporan Financial Times seperti dikutip dari CNBC, Senin (25/3/2024). Laporan itu menyebutkan, pedoman pengadaan itu diumumkan pada 26 Desember, dan kini diterapkan serta akan berdampak pada sistem operasi Windows dan software database asing. China kini memilih alternatif dari negeri sendiri.
Instansi pemerintah di tingkat kota kecil juga telah diperintahkan untuk membeli prosesor dan sistem operasi yang “aman dan andal”. Adapun AMD dan Intel menolak mengomentari laporan itu.
Adapun langkah tersebut seiring negara tirai bambu sedang mendorong industri semikonduktor domestiknya dan mengurangi ketergantungan terhadap teknologi asing.
Semikonduktor, komponen penting yang ditemukan di berbagai perangkat mulai dari ponsel pintar hingga peralatan medis telah menjadi pusat perang teknologi antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Amerika Serikat telah menerapkan pembatasan ekspor untuk memutus akses Beijing terhadap peralatan dan teknologi semikonduktor utama.
Advertisement
Peraturan AS
Pada Oktober 2022, AS memperkenalkan peraturan yang bertujuan membatasi kemampuan China untuk mengakses, memperoleh dan produksi chip semikonduktor canggih di tengah kekhawatiran China dapat memakainya untuk tujuan milider.
Kemudian AS mengenalkan peraturan baru pada Oktober 2023 untuk mencegah perusahaan desain chip AS, Nvidia menjual chip artificial intelligence atau kecerdasan buatan kepada China.
Sejak 2019, perusahaan teknologi China seperti Huawei dan pembuat chip terbesar China SMIC terkena sanksi dari AS yang bertujuan membatasi aksesnya terhadap teknologi canggih. SMIC juga tidak dapat memperoleh mesin litografi ultraviolet ekstrem yang penting untuk pembuatan chip canggih dari perusahaan ASML.
Berdasarkan riset CINNO yang berbasis di Shanghai, embargo teknologi yang dipimpin AS telah membantu meningkatkan pendapatan perusahaan manufaktur peralatan chip domestik China. 10 produsen peralatan terbesar di China melaporkan pendapatan naik 39 persen pada semester I 2023 dibandingkan tahun lalu.
Penutupan Wall Street pada 12 April 2024
Sebelumnya diberitakan, aksi jual saham pada perdagangan Jumat, 12 April 2024 seiring kekhawatiran inflasi dan geopolitik kembali melemahkan sentimen investor di wall street.
Selain itu, koreksi saham bank juga bebani pasar. Dikutip dari CNBC, Sabtu (13/4/2024), pada penutupan perdagangan wall street Jumat pekan ini, indeks Dow Jones merosot 475,84 poin atau 1,24 persen ke posisi 37.983,24. Indeks S&P 500 anjlok 1,46 persen ke posisi 5.123,41. Indeks Nasdaq merosot 1,6 persen ke posisi 16.175,09.
Pada sesi perdagangan, indeks Dow Jones sempat turun hampir 582 poin atau 1,51 persen. Indeks S&P 500 tergelincir 1,75 persen.
Selama sepekan, indeks S&P 500 turun 1,56 persen. Indeks Dow Jones terpangkas 2,37 persen. Indeks Nasdaq melemah 0,45 persen.
Adapun saham JPMorgan Chase merosot lebih dari 6 persen setelah melaporkan kinerja kuartal pertama. JPMorgan Chase mengatakan, net interest income atau pendapatan bunga bersih akan lebih kecil pada 2024. CEO Jamie Dimon juga memperingatkan inflasi yang tinggi masih bebani ekonomi.
Selain itu, saham Wells Fargo turun 0,4 persen setelah melaporkan kinerja kuartalan terakhir. Saham Citigroup merosot 1,7 persen meski melaporkan pendapatan yang kalahkan prediksi.
Di sisi lain, harga minyak terus menguat di tengah Israel dilaporkan mempersiapkan serangan langsung ke Iran pekan ini. Hal itu akan menjadi ketegangan terbesar sejak pecahnya perang Israel-Hamas pada Oktober. Harga minyak Amerika Serikat berada di posisi USD 85,66 per barel usai menguat di posisi USD 87.
Advertisement
Data Impor AS
Hal ini ditambah dengan data impor AS yang baru menambah kekhawatiran terhadap inflasi yang telah memberikan tekanan pada pasar.
“Kami mendapatkan sentimen risk-off lebih lanjut menjelang akhir pekan. Anda melihat adanya peralihan ke perdagangan yang lebih aman, dengan dolar AS yang lebih kuat dan kita melihat aksi jual saham,” ujar US Bank Wealth Management Senior Investment Management, Rob Haworth.
Ia menambahkan, hal ini terjadi setelah data inflasi menunjukkan ekonomi masih cukup panas dan inflasi masih stagnan. “Itulah yang membuat investor benar-benar menyesuaikan ekspektasi terhadap the Fed. Itulah beberapa alasan mengapa mereka bersikap hati-hati menjelang akhir pekan,” kata Haworth.
Konsumen juga semakin khawatir terhadap inflasi yang tinggi masih berlanjut. Indeks sentimen konsumen pada April berada di posisi 77,9 di bawah estimasi konsensus Dow Jones sebesar 79,9, menurut the University of Michigan’s Surveys of Consumers. Inflasi diprediksi meningkat pada 2025 dan dalam jangka panjang.