Liputan6.com, Jakarta - Head of Fixed Income Research Sinarmas Sekuritas, Aryo Perbongso mengungkapkan penerbitan obligasi korporasi di Indonesia pada 2024 akan melambat karena para penerbit masih menunggu penurunan suku bunga The Fed.
“View dari kami adalah ada beberapa emiten yang kami dengar akan mendelay penerbitan Corporate Bond dengan alasan pertama menunggu penurunan suku bunga The Fed yang diprediksi terjadi akhir tahun,” kata Aryo dalam Monthly Webinar Institutional Research Sinarmas Sekuritas, dikutip Selasa (23/7/2024).
Baca Juga
Aryo menambahkan, para penerbit menunggu penurunan suku bunga The Fed agar mendapatkan rate kupon yang lebih murah dibandingkan dengan kondisi saat ini.
Advertisement
Adapun terkait penurunan suku bunga The Fed, Head of Institutional Research Sinarmas Sekuritas, Isfhan Helmy menjelaskan, The Fed diprediksi akan menurunkan suku bunga 1-3 kali pada tahun ini.
“September diperkirakan turun 25 basis poin, sedangkan untuk full year bisa mencapai 3 kali penurunan yaitu September 1 kali, November dan Desember 1 kali. Market berekspektasi penurunan 3 kali penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin, tetapi 1-2 kali penurunan sudah cukup,” jelas Isfhan.
Sedangkan untuk 2025, Ishfan menuturkan kemungkinan The Fed akan menurunkan suku bunga hingga 7 kali dengan rentang 150-175 basis poin. Jika The Fed tahun ini menurunkan 75 basis poin, kemungkinan tahun depan akan menurunkan 100 basis poin.
OJK Bocorkan soal Short Selling BEI, Siap Meluncur Oktober 2024
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan informasi terbaru terkait mekanisme Short Selling yang akan diluncurkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi mengatakan diharapkan mekanisme ini dapat meluncur pada Oktober mendatang.
"Iya (short selling meluncur Oktober), doakan saja, mudah-mudahan ya," kata Inarno kepada wartawan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (22/7/2024).
Sebelumnya, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Irvan Susandy dalam RUPST BEI, mengungkapkan short selling direncanakan akan dimulai pada kuartal empat 2024. Saat ini BEI tengah menyiapkan lisensi untuk Anggota Bursa (AB) yang akan memfasilitasi short selling.
Irvan menambahkan saat ini ada 10 anggota bursa yang berminat untuk menyediakan short selling dan sedang dalam proses persiapan bersama dengan BEI.
Mengutip laman stockbit, Senin (22/7/2024), short selling adalah transaksi jual saham yang investor lakukan walau tidak memiliki saham itu. Jadi trader dan investor meminjam saham dari sekuritas yang memiliki hak milik atas saham itu.
Kemudian trader atau investor menjual saham pada harga tinggi dengan tujuan membeli kembali saham itu pada harga yang lebih rendah. Selanjutnya mengembalikan saham itu sekuritas ke tempat dia meminjam.
Saat proses dan masa peminjaman ini juga perusahaan sekuritas terapkan peraturan. Hal itu antara lain investor asing mengembalikan lagi saham ke pemilik sesuai perjanjian. Jika melanggar, investor akan kena denda dan penyitaan jaminan.
Strategi ini berlandaskan spekulasi trader atas penurunan harga suatu instrumen investasi.
Advertisement
Dana Kelolaan Reksadana Berbasis ESG di Indonesia Capai Rp 8,21 Triliun per Juni 2024
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Inarno Djajadi mengungkapkan jumlah reksadana berbasis Environmental, social, and Governance (ESG) terus berkembang di Indonesia.
“Hingga Juni 2024 total Asset Under Management (AUM) Reksadana berbasis ESG mencapai Rp 8,21 triliun, terdiri dari 34 produk yang berasal dari 19 Manajer Investasi (MI),” kata Inarno dalam kata sambutannya pada acara Diskusi & Konferensi Pers Road to SAFE 2024, Senin (22/7/2024).
Selain itu, seiring dengan diluncurkannya indeks saham berbasis ESG, oleh Bursa Efek Indonesia (BEI), ada 10 emiten yang telah menerbitkan penerbitan Efek bersifat utang dan/atau Sukuk (EBUS) berlandaskan keberlanjutan di Indonesia sejak 2018 hingga Juni 2024. Total penerbitan tersebut mencapai Rp 34,19 triliun yang mayoritasnya didominasi sektor keuangan, manufaktur, dan energi terbarukan.
Inarno optimis pasar obligasi dan sukuk tematik di Indonesias masih akan terus berkemabng pesat meski jhingga saat ini perkembangannya terhitung masih relatif kecil jika dibandingkan dengan seluruh obligasi dan sukuk tematik yang diterbitkan di ASEAN.
“Kami mendorong lebih banyak entitas untuk dapat menerbitkan EBUS berlandaskan keberlanjutan mengingat peran sektor swasta sangatlah penting untuk mencapai pengembangan ekosistem keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Adapun menurut Inarno, OJK akan terus berkomitmen untuk melakukan upaya penciptaan pasar modal Indonesia yang berkelanjutan.