Prospek Pasar Obligasi Indonesia di Tengah Penurunan Suku Bunga Acuan

Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan baru-baru ini diproyeksikan akan memberikan angin segar bagi pasar obligasi domestik. Langkah ini dinilai dapat meningkatkan minat investor terhadap obligasi, baik dari kalangan institusional maupun individu.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 17 Jan 2025, 17:12 WIB
Diterbitkan 17 Jan 2025, 17:12 WIB
Syariah, Dolar AS, Saham, Obligasi? Optimalkan Potensi Tumbuh Dana Anda.
Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan baru-baru ini diproyeksikan akan memberikan angin segar bagi pasar obligasi domestik. Langkah ini dinilai dapat meningkatkan minat investor terhadap obligasi, baik dari kalangan institusional maupun individu. (Foto:Ilustrasi)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan baru-baru ini diproyeksikan akan memberikan angin segar bagi pasar obligasi domestik. Langkah ini dinilai dapat meningkatkan minat investor terhadap obligasi, baik dari kalangan institusional maupun individu.

Penurunan suku bunga biasanya berdampak positif pada harga obligasi di pasar sekunder. Obligasi dengan kupon tetap menjadi lebih menarik karena memberikan imbal hasil lebih tinggi dibandingkan suku bunga baru.

Penurunan suku bunga BI juga berpotensi mendorong peralihan dana dari deposito ke obligasi. Dengan imbal hasil deposito yang semakin kecil, investor ritel kemungkinan akan melirik obligasi pemerintah maupun korporasi sebagai alternatif investasi.

Merujuk riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Jumat (17/1/2025), selisih antara imbal hasil US Treasury dan INDO GBs untuk seri 10Y telah menyempit, memberikan tekanan lebih lanjut pada Rupiah.

Arus masuk asing ke pasar obligasi menurun tajam pada kuartal IV 2024 dan hingga awal 2025, didorong oleh kinerja ekonomi AS yang lebih kuat dari perkiraan dan meningkatnya ekspektasi kebijakan proteksionis di bawah Presiden terpilih Donald Trump.

Hal ini juga berdampak pada pasar ekuitas, dengan arus keluar yang signifikan tercatat pada kuartal IV 2024 dan YTD 2025, menambah tantangan pasar modal. Meskipun terjadi kenaikan tajam dalam imbal hasil US Treasury, imbal hasil riil pada US Treasury 10Y hanya 2,0%, sedangkan INDO GB 10Y menawarkan imbal hasil riil sebesar 5,7%, didukung oleh inflasi moderat Indonesia.

"Perbedaan imbal hasil yang substansial ini membuat obligasi Indonesia tetap menarik dan memberi ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut. Secara bersamaan, BI telah secara aktif turun tangan untuk mendukung Rupiah melalui intervensi pasar valas, DNDF, dan pembelian INDO GB di pasar sekunder," mengutip riset Mirae Asset Sekuritas.

 

 

Jaga Volatilitas

obligasi-131001b.jpg
Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan baru-baru ini diproyeksikan akan memberikan angin segar bagi pasar obligasi domestik. Langkah ini dinilai dapat meningkatkan minat investor terhadap obligasi, baik dari kalangan institusional maupun individu.... Selengkapnya

Langkah-langkah tersebut telah membantu menjaga volatilitas tetap terkendali dan menunjukkan komitmen BI terhadap stabilitas mata uang. Pertimbangan biaya-manfaat mendukung intervensi yang terus-menerus.

Pada Januari 2025, BI memegang 24% INDO GB, turun dari puncak pandemi sebesar 27,4% pada Desember 2022 ketika mengakhiri program pembagian beban dengan pemerintah. Pada tahun 2024 saja, BI telah memborong INDO GB senilai Rp 540,5 triliun untuk menstabilkan imbal hasil dan mata uang.

Selain itu, BI telah menjaga penerbitan SRBI tetap kuat, dengan SRBI yang beredar mencapai Rp 914,7 triliun per 14 Januari 2025. Lelang bulan Januari menghasilkan Rp 30,0 triliun, termasuk Rp15,0 triliun pada putaran terakhir, dan SRBI dengan imbal hasil lebih tinggi pada 7,23% dari puncaknya di 7,30%. Tindakan ini menyoroti pendekatan langsung BI untuk menjaga Rupiah tetap stabil.

 

Penerbitan Obligasi Korporasi 2025 Diproyeksikan Tembus Rp 144 Triliun

obligasi adalah
obligasi adalah ©Ilustrasi dibuat Stable Diffusion... Selengkapnya

PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memproyeksikan penerbitan baru surat utang 2025 berkisar Rp 139- Rp 155 triliun, dengn titik tengah pada Rp 144 triliun. Direktur Utama Pefindo, Irmawati Amran menjelaskan, proyeksi itu merujuk pada tren kebutuhan pembiayaan atau refinancing yang masih tinggi.

Kebutuhan refinancing diperkirakan masih tinggi seiring dengan nilai surat utang jatuh tempo yang masih besar dengan proyeksi Rp 150,07- Rp 155,66 triliun, pasca tingginya penerbitan bertenor pendek di tahun 2024. Bersamaan dengan itu, aktivitas sektor riil diperkirakan relatif menguat.

"Pertumbuhan ekonomi diperkirakan terdorong oleh kebijakan pemerintah yang lebih ekspansif, dengan inflasi yang diperkirakan masih terkendali," kata Irmawati.

Peluang penerbitan surat utang baru pada 2025 juga mempertimbangkan suku bunga acuan yang lebih rendah sejalan dengan ekspektasi berlanjutnya pelonggaran kebijakan moneter. Di samping itu, likuiditas lembaga keuangan yang semakin ketat mendorong perusahaan mencari alternatif dana yang relatif murah, seperti obligasi korporasi, untuk mendukung leverage keuangan dan permintaan bisnis.

"Ini juga menjadi dorongan bagi lembaga keuangan untuk mencari sumber dana baru untuk disalurkan menjadi kredit atau pembiayaan," kata Irmawati. Selain itu, premi diperkirakan relatif melandai, seiring dengan leverage keuangan yang membaik akibat suku bunga yang relatif lebih rendah.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya