IHSG Jeblok, Investor Harus Apa?

Sejumlah faktor turut membebani IHSG. Saham-saham big caps, khususnya di sektor perbankan seperti BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI, mengalami tekanan jual signifikan.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 15 Feb 2025, 07:45 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2025, 07:45 WIB
Indeks Harga Saham Gabungan Akhir Tahun 2022 Ditutup Lesu
Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik tipis 0,38 persen pada 14 Februari 2025 namun masih mengalami pelemahan 1,54 persen dibanding penutupan pekan lalu di posisi 6,742.(Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mengalami tekanan pada pekan kedua Februari. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik tipis 0,38 persen pada 14 Februari 2025 namun masih mengalami pelemahan 1,54 persen dibanding penutupan pekan lalu di posisi 6,742.

Pengamat pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardana mengatakan sentimen negatif datang dari berbagai arah, baik dari faktor global maupun domestik, membuat investor semakin waspada dalam mengambil langkah investasi. Dari sisi global, data inflasi Amerika Serikat yang lebih tinggi dari ekspektasi menjadi pemicu utama tekanan pasar saham.

Inflasi tahunan AS tercatat mencapai 3%, sementara inflasi inti naik 0,4% secara bulanan. Akibatnya, pasar mengurangi ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed yang semula diharapkan tiga kali menjadi hanya satu kali sepanjang tahun ini.

"Dengan Fed Fund Rate yang kemungkinan bertahan di atas 4%, investor asing cenderung menarik dana dari pasar saham negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk dialihkan ke aset yang lebih aman seperti obligasi AS," jelas Hendra kepada Liputan6.com, dikutip Sabtu (15/2/2025).

Dipicu Tekanan Jual

Sementara dari dalam negeri, sejumlah faktor turut membebani IHSG. Saham-saham big caps, khususnya di sektor perbankan seperti BBCA, BBRI, BMRI, dan BBNI, mengalami tekanan jual signifikan. Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan masih akan mempertahankan suku bunga di 5,75% juga menjadi perhatian, mengingat suku bunga tinggi dapat membatasi pertumbuhan sektor properti dan konsumsi.

"Di sisi lain, nilai tukar rupiah yang cenderung melemah terhadap dolar AS semakin memperburuk sentimen di pasar," kata Hendra.

 

Supply dan Demand

Akhir tahun 2017, IHSG Ditutup di Level 6.355,65 poin
Pekerja tengah melintas di dekat papan pergerakan IHSG usai penutupan perdagangan pasar modal 2017 di BEI, Jakarta, Jumat (29/12). Pada penutupan perdagangan saham, Jumat (29/12/2017), IHSG menguat 41,60 poin atau 0,66 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Adityo Nugroho melihat pergerakan IHSG dari perspektif hukum dasar ekonomi, supply dan demand. Menurut dia, ketika permintaan (demand) lebih tinggi dari penawaran (supply), harga akan naik. Hal yang sama berlaku untuk IHSG.

"Jika kita melihat kembali pergerakan di semester 1 tahun 2024, ada periode foreign outflow yang cukup signifikan, yang menyebabkan IHSG turun karena tidak ada cukup pembeli yang mampu menahan tekanan jual dari investor asing. Ketika banyak yang menjual, tetapi daya beli yang masuk tidak cukup kuat untuk mengimbanginya, maka indeks akan turun," jelas Adityo.

Adityo mencermati, belakangan ini aksi jual asing semakin masif. Dimulai dari saham BNI, kemudian berlanjut ke saham perbankan lain seperti Bank Mandiri dan BCA. Menurut Adityo, sektor perbankan bisa diibaratkan sebagai barometer pasar.

"Sama seperti burung kenari di tambang yang menjadi indikator adanya gas beracun, pergerakan saham perbankan bisa mencerminkan kondisi pasar yang lebih luas. Jika saham perbankan turun tajam, kemungkinan ada sesuatu yang tidak beres dengan kondisi makroekonomi," kata Adityo.

 

Faktor Global dan Persepsi Risiko Investor

IHSG Berada di Zona Merah
Pasca libur panjang IHSG dibayangi banyak sentimen, mulai dari peperangan hingga nilai tukar dollas AS yang saat ini menembus Rp16.000,-. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Menurut Adityo, ada dua faktor utama yang membuat investor global menarik dana mereka dari Indonesia. Pertama, ketidakpastian global. Dalam kondisi penuh ketidakpastian, investor cenderung mencari aset yang lebih aman (safe haven), seperti USD dan emas. "Ini terlihat dari pergerakan harga emas yang melonjak belakangan ini," kata Adityo.

Kedua, sentimen negatif terhadap Indonesia. Beberapa laporan dari sektor perbankan belakangan ini kurang meyakinkan, yang membuat investor asing semakin berhati-hati dalam menempatkan dana di Indonesia.

"Dalam situasi seperti ini, investor cenderung menunda investasi sampai risiko lebih jelas terpetakan. Begitu risiko mulai mereda, mereka baru akan mencari potensi reward. Saat itulah peluang bagi IHSG muncul, karena harga saham yang sudah turun bisa menjadi daya tarik tersendiri," ujar Adityo.

Berkaca dari pandemi COVID-19 pada September–Oktober 2019 sebelum pandemi merebak, investor asing sudah mulai keluar dari pasar Indonesia. Namun, IHSG saat itu masih stabil karena investor domestik mampu menahan tekanan jual. Ketika pandemi benar-benar melanda, investor asing semakin masif menjual saham mereka, tetapi setelahnya IHSG perlahan mulai pulih, meskipun investor asing masih terus melakukan outflow.

Perbedaannya, saat itu banyak investor ritel baru yang masuk ke pasar, didorong oleh tren investasi di media sosial. "Kini, kita tidak melihat lonjakan jumlah investor ritel seperti saat pandemi. Ditambah lagi, sentimen pasar saat ini lebih negatif karena banyak berita yang menyoroti kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian," jelas Adityo.

 

Prospek IHSG ke Depan

IHSG Ditutup Melemah ke Level 6.679
Pekerja tengah melintas di bawah layar Indeks harga saham gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Selasa (16/5/2023). (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Secara teknikal, Hendra mengatakan IHSG saat ini berada dalam fase bearish dengan rentang pergerakan sideways di kisaran 6.500 – 6.700. Level support terdekat berada di 6.562, sementara resistance kuat di 6.676.

"Jika IHSG mampu bertahan di atas level support, ada peluang untuk rebound terbatas. Namun, apabila tekanan jual masih berlanjut, bukan tidak mungkin IHSG bisa turun hingga level psikologis 6.500," kata dia.

Beberapa saham yang menarik untuk dicermati dalam kondisi saat ini antara lain SCMA dengan target 250, yang memiliki prospek pertumbuhan menarik dari bisnis digital advertising dan konten streaming. EMTK dengan target 670 juga menjadi pilihan karena diversifikasi bisnisnya yang kuat, mulai dari media hingga layanan kesehatan.

Di sektor tambang, ANTM dengan target 1.655 menjadi pilihan menarik seiring tren kenaikan harga emas global, sementara BRMS dengan target 400 berpotensi diuntungkan dari ekspansi proyek tambang emasnya.

"Ke depan, arah pergerakan IHSG akan sangat bergantung pada perkembangan data ekonomi global dan kebijakan moneter, baik dari The Fed maupun Bank Indonesia," ujar Hendra.

 

Tantangan Sekaligus Peluang

IHSG Ditutup Menguat
Karyawan memfoto layar pergerakan IHSG, Jakarta, Rabu (3/8/2022). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia, Rabu (3/08/2022), ditutup di level 7046,63. IHSG menguat 58,47 poin atau 0,0084 persen dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Rilis FOMC Minutes pekan depan akan menjadi momen krusial yang bisa menentukan sentimen pasar selanjutnya. Jika The Fed masih menunjukkan sikap hawkish, tekanan pada pasar saham bisa berlanjut. Namun, jika ada sinyal dovish atau setidaknya netral, pasar berpeluang untuk stabil dan mulai beranjak naik.

Bagi investor, kondisi saat ini bisa menjadi tantangan sekaligus peluang. Menurut Hendra, dengan strategi yang tepat dan pemilihan saham yang cermat, koreksi yang terjadi justru bisa dimanfaatkan untuk mengakumulasi saham-saham berkualitas dengan valuasi yang menarik.

"Jika melihat fundamental, sebenarnya tidak ada alasan bagi investor asing untuk tidak kembali ke pasar Indonesia. Dari segi ekonomi makro, kondisi masih solid, meskipun ada beberapa hiccups dalam perjalanannya," kata Adityo.

Dalam catatannya, IHSG secara historis memiliki tren naik, meskipun dalam jangka pendek bisa mengalami koreksi akibat faktor eksternal. Saat ini, investor perlu bersikap lebih selektif dalam memilih saham, dengan mempertimbangkan sektor yang memiliki ketahanan lebih baik terhadap volatilitas global.

 

Sektor Pilihan

Sektor yang biasanya menjadi pilihan dalam situasi seperti ini adalah consumer goods, perbankan, dan telekomunikasi. Namun, sektor perbankan dan telekomunikasi sudah mengalami tekanan cukup besar. Di sisi lain, sektor consumer goods masih memiliki ruang untuk bertumbuh.

"Beberapa saham yang dapat menjadi pilihan antara lain ICBP dan MYOR, yang memiliki fundamental kuat dan pergerakan harga yang relatif stabil," sebut Adityo.

Ke depan, faktor lain yang dapat mempengaruhi IHSG adalah potensi repatriasi dana dari luar negeri, yang bisa memberikan tambahan likuiditas ke pasar domestik. Namun, tetap harus melihat bagaimana dinamika global berkembang, termasuk kebijakan dari bank sentral AS (The Fed) serta kondisi ekonomi dalam negeri.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya