Menakar Dampak Kebijakan Tarif AS pada Suku Bunga, Sektor Ini Diramal Cerah

Pada awal Februari 2025, Trump menetapkan tarif impor sebesar 25% untuk Kanada dan Meksiko serta tambahan 10% untuk barang-barang asal China.

oleh Pipit Ika Ramadhani Diperbarui 18 Feb 2025, 10:15 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2025, 10:15 WIB
Tertekan, IHSG Akhir Pekan Berada di Zona Merah
Pekerja menatap layar monitor yang menampilkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (7/2/2025). (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan tarif impor yang baru-baru ini diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menimbulkan gejolak di pasar global, termasuk Indonesia. Tarif impor ini berpotensi mempengaruhi kebijakan suku bunga The Fed serta stabilitas ekonomi di berbagai negara.

Pada awal Februari 2025, Trump menetapkan tarif impor sebesar 25% untuk Kanada dan Meksiko serta tambahan 10% untuk barang-barang asal China. Kebijakan ini dikaitkan dengan keadaan darurat nasional terkait masalah fentanil dan imigrasi ilegal.

Kanada dan Meksiko merespons dengan berjanji memperketat pengawasan di perbatasan. Trump kemudian menunda penerapan tarif untuk kedua negara selama 30 hari. Akibat ketidakpastian ini, Indeks Dolar AS sempat menguat hingga mencapai level 109,86. Dampaknya, rupiah sempat terdepresiasi ke level 16.483 sebelum kembali menguat ke 16.371 setelah pengumuman penundaan tarif.

Di tengah kebijakan ekonomi yang berubah-ubah, inflasi AS masih cukup tinggi. Data Desember 2024 menunjukkan inflasi PCE (Personal Consumption Expenditures) di level 2,6% yoy, sementara inflasi inti PCE yang tidak mencakup makanan dan energi tercatat 2,8% yoy.

"Meningkatnya inflasi di AS akan memperkecil ruang penurunan suku bunga The Fed. Imbasnya adalah ekspektasi terhadap US Treasury Yield akan tetap tinggi. Lalu dampaknya ke Indonesia adalah ruang pemangkasan suku bunga Bank Indonesia pun akan turut lebih terbatas, di lain sisi diperlukan pemangkasan lebih lanjut guna mendukung pertumbuhan ekonomi," ujar Economist KISI Asset Management, Arfian Prasetya Aji dalam keterangan resmi, Selasa (18/2/205).

Adapun Indonesia mencatat inflasi terendah dalam 25 tahun pada Januari 2025, yaitu 0,76% YoY. Namun, inflasi inti tetap tumbuh sebesar 2,36% YoY, yang menunjukkan tekanan harga di sektor konsumsi masih ada.

“Angka inflasi ini terlihat sangat rendah, tetapi kita harus melihat lebih dalam. Salah satu penyebab utama deflasi adalah harga yang diatur pemerintah, terutama tarif listrik, yang mengalami penurunan cukup besar,” ujar Arfian.

 

Sektor Manufaktur Indonesia Menunjukkan Pemulihan

IHSG Ditutup Melemah 0,74 Persen ke Level 6.812
Sentimen global kembali memburuk setelah pelaku pasar di Amerika Serikat (AS) khawatir dengan beberapa masalah yang menghantui negaranya. Adapun masalah tersebut yakni krisis perbankan, plafon utang, dan sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Di sisi lain, sektor industri manufaktur Indonesia menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur naik menjadi 51,9 pada Januari 2025, dari 51,2 pada bulan sebelumnya.

“Kenaikan PMI ini menjadi sinyal positif bagi perekonomian Indonesia. Peningkatan permintaan, terutama dari luar negeri, menunjukkan bahwa sektor industri kita mulai bangkit,” kata Arfian.

Biaya output di sektor manufaktur juga tercatat berada pada level terendah dalam tiga bulan terakhir. Dengan peningkatan produksi, sektor ini berpotensi menyerap lebih banyak tenaga kerja, yang akan berdampak positif pada perekonomian domestik.

Menurut Arfian, kebijakan tarif impor AS dapat berdampak besar pada perekonomian global dan kebijakan moneter di berbagai negara. Pertama, menimbulkan tekanan terhadap suku bunga. Di mana tarif impor AS berpotensi meningkatkan inflasi karena harga barang yang masuk ke AS akan lebih mahal.

Jika inflasi meningkat, The Fed kemungkinan akan mempertahankan suku bunga tinggi, yang berdampak pada naiknya imbal hasil US Treasury. "Ini bisa membuat Bank Indonesia kesulitan menurunkan suku bunga, padahal pemangkasan suku bunga diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,” jelas Arfian.

Di samping itu, inflasi yang tinggi di AS membuat dolar AS semakin kuat, yang bisa melemahkan rupiah. Sehingga, Bank Indonesia harus menjaga keseimbangan antara menurunkan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan dan mempertahankan stabilitas rupiah agar tidak terlalu tertekan.

 

Peluang di Sektor Manufaktur

Hari Ini, Indeks Harga Saham Gabungan Ditutup di Zona Hijau
Penutupan perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (4/7/2024) menunjukan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona hijau. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Kenaikan PMI manufaktur menunjukkan sektor industri Indonesia masih memiliki potensi tumbuh. “Dengan biaya produksi yang lebih moderat dan permintaan yang meningkat, kita bisa memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat daya saing industri,” tambah Arfian.

Meskipun kebijakan ekonomi AS menambah ketidakpastian global, Indonesia masih memiliki peluang untuk memperkuat perekonomiannya. Inflasi domestik yang rendah dan peningkatan aktivitas manufaktur menjadi faktor positif yang bisa dimanfaatkan.

“Pemerintah dan otoritas moneter perlu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas makro. Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia bisa tetap tumbuh di tengah dinamika ekonomi global,” imbuh Arfian. Dengan berbagai tantangan dan peluang yang ada, keputusan strategis dari Bank Indonesia dan pemerintah akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia sepanjang 2025.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya