Liputan6.com, Jakarta Komedian Jojon tidak menampik jika dirinya besar di panggung bersama Jayakarta. Tahun 1978, Jayakarta berhasil menembus satu-satunya televisi yang ada di Indonesia, TVRI. Nama Jojon meroket saat beraksi di acara Tahun Baru TVRI 1980.
Tak hanya melawak, Jojon juga pernah mengeluarkan album lagu pop Sunda berjudul 'Pamali'. Setelah itu, Jojon tampil di beberapa film, seperti, Tiga Dara Mencari Cinta, Barang Antik, Oke Bos dan Apa Ini Apa Itu. Selain film, Jayakarta juga melahirkan kaset-kaset lawakan.
Menurut Jojon, apa yang dilakukannya adalah sebagai bentuk tanggung jawab dunia profesional dan semua itu bentuk kreativitas seorang seniman.
"Karena itu, saya berpesan kepada seniman-seniman muda jangan pernah kehabisan kreativitas. Jadilah seniman yang bermoral yang memiliki hati nurani," pesan Jojon. Meski sering main film maupun sinetron, Jojon tetap menyebut dirinya pelawak. "Saya ini komedian. Sampai kapan pun, saya tetap komedian. Namun bukan berarti saya tidak bisa melakukan hal lain," tegas Jojon.
Ciri khas unik yang dimiliki Jojon adalah kumis separuhnya di bawah hidung. Ide penempatan kumis itu ternyata bukanlah didapat dari Charlie Chaplin, apalagi Adolf Hitler. Jadi awal ceritanya saat mulai manggung sebagai pelawak di tahun 70an kumis itu dipakainya, dengan alasansederhana karena Jojon merasa terlalu ganteng untuk jadi pelawak. Â
Lantas Jojon mencoret-coret wajahnya sendiri sampai akhinya dia menemukan kumis itu pas di wajahnya. Hasilnya, hanya dengan mimik muka dan gerakan, tanpa bicara pun, Jojon bisa membuat orang tertawa.
Advertisement
Soal kumisnya, Jojon pun memiliki cerita lucu. Tahun 1980-an. Saat itu, Jayakarta Grup mengadakan pertunjukan di daerah. Mereka kedatangan seorang wanita. Jojon, yang kebetulan sedang rileks, menerima wanita itu. Namun si wanita belum sadar dia berbicara dengan siapa. Dia menyatakan tetap ingin bertemu dengan grup lawak pujaannya. Dia pun ingin berfoto bersama.
Tidak dikenali wanita itu, Jojon malah keenakan. Dia kemudian memanggil para personel lainnya. Kata dia, ada yang ingin berfoto bersama. Tiga rekannya datang. Dia pun memilih untuk ngeloyor. Si wanita antusias sekali. Dia memasang kamera, tapi tiba-tiba dia merasa ada yang kurang. "Jojon ke mana?" tanyanya.
Pertanyaan itu sontak memancing tawa. Padahal mereka biasanya yang kerap memancing orang untuk tertawa. "Lho, yang tadi Ibu ajak ngobrol itu Jojon," kata salah satu dari mereka. Nah, si wanita pun hanya melongo. Tak disangka, orang yang serius dengan dandanan yang berbeda itu adalah Jojon, pelawak yang kerap tampil nyentrik dengan banyolan yang mengundang tawa.
Ada lagi cerita lain. Di tengah syuting sebuah film di tahun 1980-an, masyarakat berdesak-desakan ingin melihat Jojon. Seorang wanita hamil tiba-tiba menyeruak di antara kerumunan. Wanita itu tanpa malu-malu minta dicium Jojon. 'Wah, dia pasti ngidam. Ane perlu penuhi permintaannya," kata Jojon nakal. Ciuman kilat pun terjadi, dan Jojon lalu kabur dari kerumunan orang banyak.
Namun, barangkali Jojon memang akan dikenang terutama sebagai pelawak. Di panggung komedi, ia adalah sebuah paket lengkap, baik secara fisik maupun konsep. Bila mengikuti teori Teguh pendiri Srimulat, bahwa lucu itu aneh, maka lihatlah Jojon: celananya selalu manggantung sampai ke atas perutnya. Bila inti lawakan adalah parodi alias plesetan, maka Jojon telah melakukannya jauh sebelum istilah "plesetan" itu sendiri dipopulerkan oleh pelawak Yogyakarta, Marwoto. Hanya Jojon yang bisa membuat kumis Hitler kehilangan keangkerannya.
Tambahkan satu teori lagi, dari nyaris satu-satunya pengamat seni lawak di Indonesia, (alm) Arwah Setiawan yang pernah mengatakan bahwa komedi itu serius. Dan, Jojon kurang serius apa? Ia melawak seperti seorang aktor yang sedang berakting; tak ada upaya untuk menjadi lucu. Bahkan, ekspresi wajah Jojon ketika melawak selalu tampak sedih, kadang hampir nangis, seperti orang yang memendam penderitaan.
Di grup lawak Jayakarta, begitulah peran Jojon sejak awal. Ia selalu menjadi sasaran untuk 'dikerjain' teman-temannya, terutama Uuk yang selalu tampil sangar. Bersama Esther yang 'cross-gender' dan Cahyono yang berwibawa, Jojon merajai panggung lawak, terutama di layar TVRI pada dekade 80-an. Penampilannya selalu ditunggu-tunggu lewat acara mingguan Galarama, yang memadukan antara lawak dan musik.
Sementara Srimulat punya acara sendiri, Jayakarta tak kalah eksis lewat acara-acara lain, termasuk Aneka Ria Safari, acara musik yang kadang diselingi dengan lawak, hingga program-program khusus lawak seperti Aneka Ria Jenaka. Seperti grup-grup lawak umumnya kala itu, boleh dibilang Jojon dan Jayakarta memang dibesarkan oleh TVRI.
Yang menarik dari Jojon, dia termasuk sedikit dari personal pelawak yang lebih terkenal dibandingkan dengan grupnya. Di Srimulat, popularitas terbilang merata. Namun, Jojon berhasil tampil ke depan dengan karakter 'keaktoran'-nya yang kuat sebagai pelawak. Layaknya seniman lawak 'tradisional' pada zamannya, ia tak mengandalkan materi atau skrip. Melainkan, ia mengkonsep dirinya dengan karakter tertentu sampai menyatu dengan kepribadiannya. Hal itu diulang-ulang sehingga membentuk pola kelucuan yang bukannya membosankan tapi justru ditunggu-tunggu.