Malik dan Elsa: Menerbangkan Cinta Bersama Pesawat Kertas Menuju Belanda

Menjodohkan Salshabilla Adriani dan Endy Arfian dalam film bisa jadi terobosan baru. Apalagi dibekali kisah cinta sederhana ala Malik dan Elsa.

oleh Wayan Diananto diperbarui 10 Okt 2020, 12:06 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2020, 06:00 WIB
Poster Malik dan Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)
Poster Malik dan Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)

Liputan6.com, Jakarta “Kamu tahu enggak kenapa bangsa asing menjajah Indonesia?” tanya Malik (Endy Arfian) kepada Elsa (Salshabilla Adriani) di ruang kuliah sebelum dosen datang. Adegan ini sekaligus membuka film Malik dan Elsa.

Malik anak piatu, ibunya meninggal. Ayahnya (Mak Ipin) pedagang dengan penghasilan tak seberapa. Sementara keluarga Elsa kaya raya. Sampai di sini, terbayang konflik Malik dan Elsa.

Cerita Malik dan Elsa mengalun lembut, sesekali mengantar kita ke pasar tradisional, tempat Malik kerja serabutan sebagai kuli. Dari pasar, kita diajak balik ke kampus, tempat Malik dan Elsa kali pertama bertemu. Lalu berinteraksi intens.

 

Ada Cinta di Kampus

Endy Arfian sebagai Malik. (Foto: Dok. Max Pictures)
Endy Arfian sebagai Malik. (Foto: Dok. Max Pictures)

Usai kuliah, keduanya jalan-jalan ke pantai atau makan di restoran. Maklum, karena tak bisa menjawab pertanyaan mengapa bangsa asing menjajah Indonesia, Elsa kena hukuman mentraktir Malik selama sepekan. Ayah (Hanif Alkadri) dan Ibu Elsa (Nina Rahma) mulai curiga mengapa putri mereka sering pulang telat.

Elsa menyelidiki kehidupan Malik dan bagaimana rumah indekosnya. Malik yang bukan orang berada ngekos sekamar dengan sahabatnya, Lubis (Hendra Lesmana). Suatu hari, Lubis mengirimkan karya tulis Malik ke sebuah kompetisi berhadiah beasiswa ke Amsterdam, Belanda.

 

Dua Menu Malik Elsa

Salshabilla Adriani sebagai Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)
Salshabilla Adriani sebagai Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)

Dua menu utama Malik dan Elsa, kisah cinta beda kasta serta kecerdasan sebagai senjata pengubah nasib. Mari kita tilik sisi positif film ini. Pertama, kisah cinta Malik dan Elsa sepeti hubungan remaja pada umumnya.

Hawa romantis yang diembuskan sineas Eddy Prasetya tak terlalu puitis atau dramatis. Relatif pas dan terasa dekat dengan kehidupan remaja umumnya. Naik sepeda motor berdua. Makan bareng. Kadang bertengkar karena salah paham atau resah yang tak terucap.

 

Chemistry Pemeran Utama

Salah satu adegan Malik dan Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)
Salah satu adegan Malik dan Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)

Kedua, chemistry Endy Arfian dan Salshabilla Adriani apa adanya. Tampak effortless. Endy tidak sok romantis. Salshabilla tampil bersahaja tapi kita tahu dia anak orang berada dari gaya bicara, penampilan, dan sifat. Dengan sedikit usaha, mereka bisa meyakinkan kita bagaimana jatuh cinta.

Ketiga, mungkin terdengar subjektif. Kami suka ending-nya. Tidak berakhir klise. Terasa realistis. Bagi anak orang tak mampu, jika dihadapkan pada cinta (yang belum tentu berakhir di pelaminan) atau masa depan, jelas betul mana yang mesti dipilih.

 

Kaget dengan Adegan Akhir

Salah satu adegan Malik dan Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)
Salah satu adegan Malik dan Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)

Agak kaget dengan adegan akhir namun sensasi lega kemudian menyeruak. Apalagi, lagu tema film ini menggarisbawahi pesan pentingnya. Liriknya tidak menepiskan pentingnya cinta. Gambar menyorot pilihan tokoh utama.

Kisah-kisah indah di sepanjang film kemudian tersimpan rapi sebagai arsip kenangan. Masih disimpan, berarti penting. Penonton menduga, Malik dan Elsa berkomitmen untuk bertahan lalu beberapa kemungkinan lain terbuka. Apalagi, jika mengingat janji Malik, “Aku ingin mengajakmu terbang dengan pesawat.”

 

Ruang Untuk Pemeran Pendukung

Salah satu adegan Malik dan Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)
Salah satu adegan Malik dan Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)

Tentu saja tak ada film yang sempurna. Izinkan kami menyampaikan sejumlah catatan. Pertama, kelembutan cerita membuat dramatisasi kisah kurang terasa. Bagi yang senang dengan film kalem, Malik dan Elsa memenuhi harapan. Bagi yang gemar drama bisa jadi geregetan.

Apalagi, ruang untuk pemeran pendukung kurang leluasa. Interaksi Malik dengan ayah sebenarnya masih bisa digali. Silang pendapat orangtua Elsa menyikapi hubungan anak masih bisa dipertajam agar lebih bold. Plus, ada Lubis yang dengan mudah mampu merebut hati penonton.

Di tengah zaman yang makin individualis, Lubis bagi mata air yang diincar banyak orang. Sosoknya sederhana. Sesederhana bahagianya yakni makan piza. Andai diberi ruang lebih leluasa, Lubis bisa menjadi pemeran pendukung terbaik di kelasnya.

 

 

Momen Pesawat Kertas

Salah satu adegan Malik dan Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)
Salah satu adegan Malik dan Elsa. (Foto: Dok. Max Pictures)

Treatment film ini sekilas mengingatkan kita pada kebesaran Dilan 1990 dengan kebutuhan yang disesuaikan. Ucapan Malik lebih realistis. Tak memabukkan seperti Sang Panglima Tempur.

Elsa sedikit manja tapi tangisnya memperlihatkan kedalaman rasa. Malik dan Elsa terasa ringan, intens, dengan citarasa pas. Ia cukup terampil memanfaatkan peranti sederhana untuk memainkan perasaan penonton.

Misalnya, melipat kertas dan menjadikannya pesawat. Bersama dengan terbangnya pesawat kertas, sebuah janji terucap. Dari sekian banyak adegan, momen ini yang mengendap di hati dan menyisakan senyuman saat film berakhir dalam syahdu.

Malik dan Elsa tidak tayang di bioskop, mengingat pandemi Covid-19 masih meluas di Tanah Air. Film ini bisa diakses secara legal lewat platform digital Disney+ Hotstar mulai Oktober 2020.

 

 

 

Pemain: Endy Arfian, Salshabilla Adriani, Hendra Lesmana, Mak Ipin, Nina Rahma, Hanif Alkadri, M. Yahya Nur Ibrahim

Produser: Ody Mulya Hidayat, Agus Basuki

Sutradara: Eddy Prasetya

Penulis: Nana Mulyana, Media Kita

Produksi: Max Pictures

Durasi: 1 jam, 30 menit

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya