13 Februari 1917: Lahirnya Bapak Industri Film Indonesia Djamaluddin Malik

Karier Djamaluddin Malik dimulai dari Koninklijke Pakertvaart Maatschappij (KPM). Ia mengelola bisnis perdagangan kayu dan pengangkutan perjalanan haji ke Makkah.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 13 Feb 2025, 14:00 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2025, 14:00 WIB
Ilustrasi Film Indonesia
Ilustrasi Film Indonesia (Jokab Owens/Unsplash).... Selengkapnya

Liputan6.com, Yogyakarta - Djamaluddin Malik dikenal sebagai Bapak Industri Film Indonesia. Pelopor industri perfilman nasional ini juga merupakan salah satu penggagas ajang penghargaan bergengsi Festival Film Indonesia (FFI).

Mengutip dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Djamaluddin Malik lahir di Padang pada 13 Februari 1917. Setelah menyelesaikan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), ia melanjutkan pendidikan di Algemene Middelbare School (AMS) Jakarta.

Saat berada di AMS inilah, Djamaluddin Malik bertemu Usmar Ismail. Keduanya kemudian menjadi partner dan dikenal sebagai dwi tunggal perfilman nasional.

Karier Djamaluddin Malik dimulai dari Koninklijke Pakertvaart Maatschappij (KPM). Ia mengelola bisnis perdagangan kayu dan pengangkutan perjalanan haji ke Makkah.

Keuntungan yang didapat dari bisnis-bisnis tersebut dikumpulkan untuk dijadikan modal mendirikan industri film modern. Kemudian pada 23 April 1951, Djamaluddin Malik mendirikan Perseroan Artis Indonesia (Persari).

Perusahaan yang berlokasi di Polonia ini memiliki fasilitas cukup mewah, mulai dari studio, taman, kolam renang, laboratorium hitam putih, hingga studio perekaman suara. Selama 10 tahun berdiri, perusahaan ini telah membuat 59 judul film.

Tiga dari film produksi mereka merupakan film berwarna, yakni Rodrigo de Villa (1952), Leilani (1953), dan Tabu (1953). Pada 1962, Persari bekerja sama dengan Sampuguita untuk membuat film Holiday in Bali yang menggunakan tiga bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Tagalog, dan bahasa Inggris.

Persari terakhir kali merilis film berjudul Menyusuri Jejak Berdarah pada 1967. Film ini merupakan hasil kerja sama dengan Ifdil dan Perfini.

Dalam kancah internasional, Djamaluddin Malik berupaya mengikutsertakan film Indonesia dalam Festival Film Asia I (FFA) di Jepang pada 1954. Namun, saat itu ia gagal karena hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dengan Jepang masih bersitegang imbas rampasan perang saat itu.

Akhirnya pada 1955, Djamaluddin Malik berhasil mengikutsertakan film Indonesia pada FFA II di Singapura. Pada tahun yang sama, filmnya yang berjudul Tarmina dan Lewat Jam Malam terpilih menjadi film terbaik versi Festival Film Indonesia I (FFI).

Selain di dunia film, Djamaluddin Malik juga pernah tergabung dalam beberapa organisasi Islam. Ia menjadi anggota Nahdlatul Ulama pada 1933.

Pada 1956, ia terpilih menjadi Ketua III Pengurus Besar NU dalam Muktamar ke-21 di Medan. Pada 1962, Djamaluddin Malik bersama Usmar Ismail dan Asrul Sani membentuk organisasi bernama Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi).

Lesbumi adalah organisasi dengan sikap jalan tengah dalam perpolitikan yang berada di bawah naungan partai NU. Kehadiran Lesbumi membuktikan bahwa santri dapat bergaul dengan kalangan seniman dan budayawan. Artinya, lingkup bidang seni-budaya dan keagamaan dapat menyatu.

Pada 1966, Djamaluddin Malik mewakili NU menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Usianya yang sudah tidak muda, membuat Djamaluddin Malik harus berobat ke Jerman Barat.

Dalam pengobatan tersebut, ia meninggal dunia pada 7 Juni 1970 dan dimakamkan di Kawasan Pekuburan karet Jakarta. Pada 1973, pemerintah menganugerahi Djamaluddin Malik Bintang Mahaputra. Penghargaan yang diberikan melalui istrinya, Elly Yunara, tersebut sekaligus mengukuhkan Djamaluddin Malik sebagai pahlawan nasional.

Penulis: Resla

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya