Liputan6.com, Bandung Tarian Lengger Maut yang diproduksi Visinema karya sutradara Yongki Ongestu resmi tayang di Indonesia. Film ini menjadi lebih menarik karena ada banyak keterlibatan pekerja kreatif lokal yang bahu membahu mengangkat isu kedaerahan ke layar lebar.
Baca Juga
Advertisement
Tontonan film lokal yang hadir menyapa penggemar pada 13 Mei ini meski dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19, menunjukkan semangat para sineas muda untuk tetap menghasilkan film berkualitas.
Produser film Tarian Lengger Maut Eye Supriyadi mengatakan, dalam proses produksinya film ini melibatkan para pekerja kreatif lokal dari Banyumas, Jawa Tengah.
"Iya, kami dari Komunitas Digital Sinematografi Indonesia chapter Banyumas Raya ikut terlibat. Ada sekitar 40 orang. Jadi teman-teman ada yang berasal dari mahasiswa, komunitas teater, ada beberapa fotrografer, dan videografer wedding," kata Eye saat berbincang dengan Liputan6.com, Sabtu (15/5/2021).
Aenigma Pictures yang membidani film tari tradisional asal Banyumas yang berbau thriller ini bekerja sama dengan komunitas sinematografi lokal. Mulanya, mereka berjumpa dalam sebuah workshop yang menghasilkan film pendek.
Pertemuan antara Aenigma Pictures dan komunitas berlanjut. Sampai akhirnya mereka sepakat untuk membuat film yang mengangkat kearifan lokal dengan gaya yang berbeda.
"Ketika ditantangin bikin film layar lebar (sama Yongki Cs), aku jawab ya berani. Karena aku yakin aku dan teman-temanku di belakang mampu mengemban tanggung jawab," ujar Eye.
Selain kru, beberapa seniman lokal yang terlibat dalam film Tarian Lengger Maut termasuk pemain calung, sinden, hingga aktor lokal juga turut terlibat.
Simak Video Pilihan di Bawah Ini
Lokasi Syuting di Purbalingga
Film Tarian Lengger Maut sendiri bisa dikatakan adalah salah satu mimpi dari Komunitas Digital Sinematografi Indonesia chapter Banyumas Raya untuk menembus layar lebar. Menurut Eye, tantangan terbesar dari film ini adalah mengembangkan kearifan lokal dengan cerita thriller.
"Aku sebetulnya enggak kepikiran sama dokter jantung. Tapi ini ada orang yang jeli melihat Lengger sebagai tarian dari desa yang kemudian diangkat ke film," ujar Eye.
Selain talenta lokal, film Tarian Lengger Maut juga mengambil lokasi syuting di daerah ngapak tersebut. Sehingga tak heran suasana perdesaan begitu kental dalam film ini.
"Seratus persen, cuma beberapa shot ada di studio. Secara keseluruhan scene by scene, secara khusus di Purbalingga," kata Eye.
Dialek Bahasa Jawa Banyumasan atau yang biasa disebut Ngapak juga ditemukan dalam film ini. Bahasa yang lahir dari percampuran antara Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa ini jarang sekali ditemukan dalam media TV atau media mainstream lainnya.
Sebagai wong banyumasan, Eye pun merasa perlu mengangkat akan bahasa ini melalui karya dalam dialog dalam film.
"Tarian ini jelas dari Banyumas, jadi mau enggak mau ditampilkan dialek Banyumas," ucapnya.
Eye menambahkan, proyek film hasil kerja sama Aenigma Pictures membuat para pekerja kreatif lokal semakin bersemangat dalam menghasilkan karya.
"Jadi sampai saat ini mereka masih bersemangat karena ini baru pertama garap film layar lebar. Sampai saat ini ikatan keluarga juga masih terjaga dan sangat erat," ujarnya.
Advertisement
Terapkan Larangan Sampah Sekali Pakai
Aryanna Yuris, produser film dari Aenigma Pictures mengatakan, dalam proses pembuatan film Tarian Lengger Maut, seluruh kru dan pemeran menerapkan pengurangan sampah konsumsi. Selama 16 hari di kaki Gunung Slamet Proses pengambilan gambar film tersebut, mereka menerapkan pelarangan penggunaan sampah sekali pakai.
"Saya dan Eye sepakat untuk mencoba mengurangi sampah bungkus sekali pakai untuk makan dan minum. Walau kecil tapi kalau 100 orang selama 16 hari, mengurangi 3 botol plastik saja cukup ada pengaruh," kata Aryanna.
Perlu diketahui, film ini merupakan produksi film pertama di Indonesia yang menerapkan zero waste movement. Tim produksi berkomitmen untuk mengurangi sampah yang dihasilkan dalam produksi.
Adapun tim produksi menukar pemakaian alat makan dan gelas sekali pakai dengan peralatan yang dapat digunakan kembali. Air mineral dalam kemasan ditiadakan dan botol minum dibagikan ke kru dan pemain untuk mengisi ulang air minum.
Aryanna mengatakan, film ini juga menjadi bagian dari apresiasi budaya dan daerah di mana film tersebut diambil. Oleh karena itu, film ini menampilkan lengger, alat musik calung, bahasa ngapak, hingga kuliner berupa goreng mendoan yang menjadi ciri khas daerah tersebut.
"Karena kita memang membawa cerita yang latarnya di desa fiksi di Banyumas. Dari film ini kita ingin menampilkan Banyumas," ujarnya.