Liputan6.com, Jakarta Disrupsi di era digital terus melaju kencang. Perusahaan dituntut untuk mengadaptasi teknologi agar tidak tergerus oleh bisnis yang disruptif seperti perusahaan rintisan teknologi.
Salah satu solusi bagi perusahaan untuk tidak tertinggal oleh disrupsi digital dengan resiko yang lebih baik adalah bekerja sama dengan Venture Builder.
Pasalnya, disrupsi di era digital salah satu perusahaan taksi kurang bisa bersaing secara teknologi dengan aplikasi layanan transportasi daring. Alhasil, perusahaan taksi harus bertransformasi dalam waktu yang sangat singkat. Hal tersebut menjadi pelajaran penting bagi perusahaan korporasi untuk terus dapat bertahan di era digital.
Advertisement
Saat ini, ada berbagai cara agar perusahaan dapat bertahan di era disrupsi digital. Salah satunya adalah dengan turut serta berinvestasi atau mendirikan unit usaha baru berbasis teknologi.
Baca Juga
Kelebihan Venture Builder
Namun mendirikan bisnis digital yang dapat mengembalikan investasi tidaklah mudah. Di sisi lain, berinvestasi secara langsung di startup digital memiliki resiko yang sangat tinggi, karena hanya 1 dari 10 investasi di startup yang berhasil.
Berbeda dengan Venture Capital (VC), Venture Builder fokus pada riset dan pengembangan teknologi dan validasi model bisnis sebelum membentuk badan usaha dan melakukan investasi.
Sehingga resiko kegagalan dapat diminimalisir. Sedangkan Venture Capital berfokus pada investasi berbasis valuasi pada badan usaha yang sudah bergerak namun mayoritas merugi.
Venture Builder atau VB sudah sangat populer di negara bagian Eropa dan terbukti keberhasilannya. Salah satu perusahaan VB yang terkenal adalah Rocket Internet, perusahaan di balik berjalannya Lazada, Zalora, Foodpanda, dan berbagai perusahaan digital lainnya yang melantai di bursa Jerman pada tahun 2014.
Advertisement
Mendirikan Gua Digital
Hal ini yang mendasari mantan karyawan Rocket Internet, Kailash Raghuwanshi, dan konsultan teknologi Mahardika Prima mendirikan Gua Digital, sebuah perusahaan Venture Builder yang melakukan pengembangan di Paygua, aplikasi teknologi finansial untuk usaha yang saat ini bekerjasama dengan GarudaFood.
Gua Digital percaya bahwa mengembangkan bisnis teknologi yang disruptif dan memecahkan masalah bukan sekadar soal besarnya investasi, tetapi juga fondasi yang baik.
“Membangun teknologi adalah keahlian kami, namun keberhasilan suatu bisnis teknologi bukan hanya terletak pada teknologi, pendiri yang berpengalaman atau investasi besar-besaran untuk akusisi pasar. Tapi sumber daya distribusi,” ujar CEO Gua Digital, Kailash Raghuwanshi.
“Maka dari itu pendekatan Gua Digital adalah Corporate Venture Building, di mana kami bekerjasama dengan perusahaan yang sudah sangat kokoh namun belum memiliki pengalaman mendirikan perusahaan berbasis teknologi. Kami melakukan spin-off entitas perusahaan baru dan meluncurkannya ke pasar dengan jalur distribusi yang sudah matang. Sehingga mudah untuk akusisi pasar tanpa harus bakar uang seperti startup yang didanai Venture Capital,” sambungnya.
Menghindari Salah Strategi
Mahardika Prima, Pendiri dan COO Gua Digital, melihat banyak perusahaan besar dengan sumber daya keuangan dan distribusi yang kuat, malah gagal dalam mengembangkan bisnis digital setelah menghamburkan puluhan miliar karena salah strategi.
“Di Gua Digital kami membangun teknologi yang kami analisa berhasil di negara lain, mengimplementasikannya di Indonesia, dan bekerjasama mendirikan perusahaan dengan pemain besar di industri sejenis, sehingga dapat terakselerasi dengan cepat pertumbuhannya,” ungkap Mahardika Prima.
Di Indonesia juga terdapat beberapa perusahaan Venture Builder seperti Indonusa Dwitama, perusahaan yang mendirikan Tokopedia dan telah ‘exit’ dengan return yang sangat besar pada tahun 2016 dan WGS Hub yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia pada Tahun 2020.
Advertisement