Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur melaporkan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk atau gini ratio Jawa Timur (Jatim) menurun pada September 2019. Tercatat gini ratio Jawa Timur sebesar 0,364 persen atau turun 0,006 poin.
Dibandingkan gini ratio Maret 2019 sebesar 0,370 persen. Gini ratio atau tingkat ketimpangan di daerah perkotaan pada September 2019 tercatat sebesar 0,374 persen turun 0,005 poin dibandingkan gini ratio Maret 2019 yang sebesar 0,379 persen. Sedangkan gini ratio di daerah pedesaan pada September 2019 tercatat sebesar 0,314 persen dibandingkan gini ratio Maret 2019 yang sebesar 0,318 persen. Gini ratio di pedesaan turun 0,004 poin.
Pada September 2019, persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah sebesar 18,43 persen. Ini berarti Jawa Timur termasuk pada kategori ketimpangan rendah.
Advertisement
Baca Juga
Persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah pada September 2019 ini meningkat jika dibandingkan kondisi Maret 2019 sebesar 18,39 persen. Demikian mengutip dari laman BPS Jawa Timur, Rabu (15/1/2020).
Sejalan dengan informasi yang diperoleh dari gini ratio, ukuran ketimpangan Bank Dunia mencatat hal yang sama. Ketimpangan di perkotaan lebih parah dibandingkan ketimpangan di pedesaan. Persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah di daerah perkotaan pada September 2019 adalah sebesar 17,92 atau tergolong ketimpangan rendah.
Demikian untuk daerah pedesaan, persentase pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah pada September 2019 berada di kategori ketimpangan rendah (20,52 persen).
Seperti diketahui, ukuran ketimpangan lain yang sering digunakan adalah persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah atau yang dikenal dengan ukuran ketimpangan Bank Dunia.
Berdasarkan ukuran ini tingkat ketimpangan dibagi menjadi tiga kategori antara lain tingkat ketimpangan tinggi jika persentase pengeluaran kelompok penduduk persen terbawah angkanya di bawah 12 persen. Lalu ketimpangan sedang jika angkanya berkisar antara 12-17 persen, serta ketimpangan rendah jika angkanya berada di atas 17 persen.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Penduduk Miskin Turun 56 Ribu di Jawa Timur Jiwa pada September 2019
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur melaporkan jumlah penduduk miskin di Jawa Timur mencapai 4,056 juta jiwa pada September 2019. Angka ini turun 56,3 ribu jiwa dibandingkan Maret 2019 sebesar 4,11 juta jiwa.
Kalau dari periode September 2018, jumlah penduduk miskin susut 236 ribu dari 4,292 juta jiwa menjadi 4,056 juta jiwa pada September 2019.
Selama Maret 2019-September 2019, persentase penduduk miskin Jawa Timur menyusut 0,27 persen dari 10,37 persen pada Maret 2019 menjadi 10,20 persen pada September 2019.
Turunnya persentase penduduk miskin selama satu semester itu ditunjukkan dengan turunnya jumlah penduduk miskin sebesar 56 ribu jiwa yang semula berjumlah 4,11 juta jiwa pada Maret 2019 menjadi 4,056 juta jiwa pada September 2019.
Mengutip data BPS Jawa Timur, Rabu (15/1/2020), persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2019 sebesar 6,84 persen turun menjadi 6,77 persen pada September 2019. Sementara itu, persentase penduduk miskin di pedesaan pada Maret 2019 sebesar 14,43 persen turun menjadi 14,16 persen pada September 2019.
Selama periode Maret-September 2019, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 11,1 ribu jiwa atau dari 1,44 juta pada Maret 2019 menjadi 1,43 juta jiwa pada September 2019. Sementara itu, di pedesaan turun sebanyak 45,1 ribu jiwa dari 2,66 juta jiwa pada Maret 2019 menjadi 2,16 juta jiwa pada September 2019.
Sejumlah faktor yang mendorong penurunan persentase penduduk miskin selama Maret 2019-September 2019 antara lain terjadi inflasi umum 1,04 persen selama Maret-September 2019.
Selain itu, beberapa komoditas makanan alami perubahan indeks harga konsumen (IHK) yaitu bawang merah turun 24,75 persen, bawang putih turun 8,96 persen.
Penurunan indeks juga terjadi pada beras sebesar 2,76 persen, telur ayam ras sebesar 2,19 persen, minyak goreng sebesar 1,97 persen, daging ayam ras sebesar 1,75 persen dan tempe sebesar 0,98 persen.
Di sisi lain, indeks upah buruh tanaman pangan naik 1,29 persen dari 154,02 pada Maret 2019 menjadi 156,01 pada September 2019. Berdasarkan hasil Susenas pada September 2019, garis kemiskinan meningkat 1,63 persen atau naik Rp 6.485 per kapita per bulan dari Rp 397.687 per kapita per bulan pada Maret 2019 menjadi Rp 404.172 per kapita per bulan pada September 2019.
Peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditas bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan). Pada September 2019, kontribusi garis kemiskinan makanan terhadap garis kemiskinan sebesar 74,91 persen.
Advertisement
Beras hingga Rokok Sumbang Garis Kemiskinan
Kenaikan garis kemiskinan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan. Garis kemiskinan untuk perkotaan meningkat 1,66 persen dan pedesaan sebesar 1,5 persen. Tingginya kenaikan garis kemiskinan tersebut meliputi garis kemiskinan makanan sebesar 1,57 persen untuk perkotaan dan 1,27 persen untuk pedesaan. Sementara itu, garis kemiskinan bukan makanan sebesar 1,93 persen untuk perkotaan dan 2,26 persen untuk pedesaan.
Pada September 2019, jenis komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan baik di perkotaan dan pedesaan pada umumnya sama. Komoditas beras yang memberikan sumbangan terbesar baik di perkotaan (24,06 persen) dan pedesaan (26,12 persen).
Rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua kepada garis kemiskinan. Angkanya masing-masing 9,69 persen di perkotaan dan 9,86 persen di pedesaan. Komoditas lainnya yang mempengaruhi garis kemiskinan adalah telur ayam ras, daging ayam ras, tempe, tahu, gula pasir dan mie instan.
Seperti diketahui, garis kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan harga yang dibayar oleh kelompok acuan untuk memenuhi kebutuhan pangan sebesar 2.100 kkal/kapita/hari dan kebutuhan non pangan antara lain perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi dan lainnya.