Liputan6.com, Banyuwangi Tangkapan ikan di Banyuwangi menurun hingga 15 persen. Kondisi ini membuat suplai ikan ke sejumlah pabrik sarden di Banyuwangi berkurang. Karena kuota tak cukup, imbasnya banyak pabrik yang mengimpor ikan dari India.
Kepala Dinas Perikanan Banyuwangi Alief Kartiono mengatakan, penurunan dirasakan sejak 2019 hingga saat ini. Dimulai sejak pandemi, yakni selama 2019 hingga 2021. Kala itu pergerakan nelayan di Muncar benar-benar terbatas.Â
Baca Juga
Sempat ada harapan saat 2022, atau setelah pandemi mereda. Tetapi di tahun itu justru Banyuwangi dilanda cuaca ekstrem.
Advertisement
"Sejak september dilanda cuaca ekstrem, seperti La Nina, sekarang dilanjut angin Muson dari Australia. Itu mengganggu aktivitas nelayan, tangkapan menurun 15 persen," kata Alief, Kamis (16/3/2023).
Faktor lainnya adalah karena laut Selat Bali yang sudah tercemar. Plankton sebagai makanan utama ikan hampir musnah di Selat Bali. Sehingga ikan-ikan banyak yang bermigrasi.
Sekarang, musimnya ikan bermigrasi ke laut India. Di sana cuaca tengah membaik sehingga sangat menguntungkan bagi nelayan yang ada di sana.
"Karena kondisi di Selat Bali yang sudah kurang kondusif. Menurut beberapa penelitian karena memang sudah tercemar. Biasanya di jarak 12 mil itu mudah ditemui sekarang ini sulit," ujar Alief.
Ditanyai prosentase impor ikan, Alief mengaku tidak mengetahui pasti.
"Kami tidak punya data konkret, data konkretnya ada di perdagangan. Kami hanya dapat informasi dari nelayan," pungkasnya.
Sementara itu, Owner Pengalengan Ikan Pasific Harvest, Aminoto membenarkan adanya tren impor tersebut. Menurutnya hal ini karena tangkapan ikan lokal tidak mampu mencukupi kebutuhan produksi.Â
"Impornya 10-20 persen. Ikan yang diimpor jenis lemuru," kata Aminoto.
Â
Harga Impor Lebih Mahal
Sebetulnya, lanjut Aminoto, kondisi ini juga memberatkan bagi pelaku usaha. Harga impor lebih mahal, sementara penjualan produk tidak bisa dinaikkan.Â
Di satu sisi bila tidak impor pabrik otomatis stop produksi. Karyawan akan menganggur. Kerugian juga akan lebih besar.
"Harga lokal sekitar Rp 10 ribu sementara impor Rp 12 ribu. Kadang-kadang rugi. Karena kami tidak bisa serta merta menaikkan harga jual," ujarnya.
Â
Advertisement