Liputan6.com, California - Seperti diketahui, Donald Trump baru saja terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat selanjutnya. Kemenangan Trump ternyata mengagetkan banyak pihak dan tak sedikit yang mempertanyakan alasan sosok kontroversial tersebut bisa terpilih.
Terlepas dari segala urusan politik, ternyata salah satu faktor yang disebut-sebut membuat Trump menang adalah Facebook. Menurut sebagian pihak, algoritma jejaring sosial itu membuat seseorang hanya mengetahui satu sisi saja.
Sekadar informasi, algoritma News Feed di Facebook dibuat berdasarkan ketertarikan seseorang. Jadi, sistem tersebut akan menampilkan konten-konten yang dirasa diinginkan oleh pengguna. Namun, konten-konten tersebut tak dibuat untuk bisa membedakan apakah konten yang ditampilkan fakta atau bukan.
Karena itu, hampir mungkin seseorang hanya akan melihat konten yang sesuai dengan ketertarikannya meskipun hal itu palsu. Konten yang ditampilkan di News Feed akan melewatkan semua informasi dari sudut pandang berbeda.
Hal itu menurut sebagian orang tentu berpengaruh pada pendapat seseorang karena diberi informasi yang sama terus-menerus.
Baca Juga
Sebenarnya, hal itu bisa dihindari apabila seseorang memastikan sebuah informasi dengan membandingkannya ke sumber lain.
Akan tetapi, dikutip dari laman Business Insider, Kamis (10/11/2016), nyatanya lebih banyak orang dewasa di Amerika Serikat sangat mengandalkan Facebook sebagai kurator berita.
Sebuah studi dari Pew Research tahun lalu menemukan hampir sebagian besar orang dewasa dengan persentase 63 persen di Amerika Serikat memilih Facebook sebagai sumber berita.
Kebiasaan untuk melihat berita di Facebook juga jauh lebih besar ketimbang kebiasaan untuk memperhatikan foto atau unggahan dari teman atau keluarga.
Untuk itu, kebiasaan tersebut secara tak langsung mempengaruhi cara pandang seseorang. Dan, hampir dapat dipastikan konten yang ditampilkan kemungkinan tak berimbang, mengingat algoritma yang ada didesain untuk menunjukkan informasi atau konten secara lebih personal.
Sebenarnya, konsep semacam ini sudah pernah dibahas oleh penulis Eli Pariser pada 2011. Ia memberi nama gejala sebagai 'filter bubble'. Meskipun algoritma ini cocok digunakan untuk menambah pengalaman saat berbelanja online, nyatanya sistem ini tak cocok untuk digunakan pada sistem demokrasi.
"Pada dasarnya, demokrasi bekerja jika warga negara mampu berpikir melebihi ketertarikannya sendiri. Tetapi, untuk melakukannya kita perlu berbagi sudut pandang dengan dunia lain tempat kita tinggal," tulisnya dalam buku yang berjudul The Filter Bubble: What the Internet is Hiding from You.
Namun sistem 'filter bubble' mendorong manusia ke arah sebaliknya. Sistem tersebut memberi kesan hanya satu sudut pandang yang ada, dan itu merupakan pandangan personal semata.
Kondisi itu, menurut Pariser, tak cocok ketika dipakai oleh sebagian orang ketika membuat keputusan bersama.
(Dam)
Advertisement