Uji Publik Revisi PP 52/53, Kominfo Belum Lapor Kemenko Polhukam

Kemkominfo seharusnya melakukan koordinasi dan konsultasi kepada Menko Polhukam.

oleh Iskandar diperbarui 16 Nov 2016, 09:25 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2016, 09:25 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) baru saja melakukan uji publik revisi PP 52/53 Tahun 2000, setelah ada desakan masyarakat yang menginginkan transparansi dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan.

Staf Ahli Desk Ketahanan dan Keamanan Cyber Nasional, Prakoso mengatakan bahwa uji publik yang dilakukan Kemkominfo terkesan sekadar formalitas. Hal ini terlihat dari waktu uji publik yang hanya berlangsung dari tanggal 14 November hingga 20 November 2016.

Selain waktu yang terbatas, lanjut Prakoso, sebelum melakukan uji publik seharusnya Kemkominfo melakukan koordinasi dan konsultasi kepada Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).

Pasalnya, dalam nomenklatur kementerian Kabinet Kerja, Kemkominfo berada di bawah koordinasi Menko Polhukam. Dengan demikian, harusnya revisi PP 52/53 Tahun 2000 dikoordinasikan kepada menteri koordinatornya. Tujuannya adalah agar tak ada gejolak di kemudian hari dan tidak banyak koreksi ketika dilakukan uji publik.

“Hingga saat ini, draft revisi PP 52/53 Tahun 2000 belum masuk ke Menko Polhukam. Harusnya Kemkominfo melakukan konsolidasi, koordinasi, dan konsultasi terlebih dahulu,” papar Prakoso melalui keterangan tertulisnya, Rabu (16/11/2016).

Selain tak taat nomenklatur, Kemkominfo juga dinilai Prakoso telah melakukan kesalahan fatal dalam revisi PP 52/53 tahun 2000.

Sementara menurut Riant Nugroho, Director Institute for Policy Reform, kesalahan fatal pertama yang dilakukan pemerintah dalam melakukan revisi PP tersebut adalah Kemkominfo tidak melakukan konsultansi kepada para pakar teknologi dan komunikasi.

Konsultasi dan dukungan dari para pakar ini mutlak dibutuhkan agar di kemudian hari penerapan network sharing tidak mengalami kendala teknis. Setelah mendapatkan masukan dari pakar, harusnya pemerintah membuat kajian mengenai cost and benefit analysis dari pemberlakukan network sharing.

Tujuannya agar keuntungan dan kerugian secara finansial dapat diketahui sedini mungkin. Namun hingga uji publik dilakukan, cost and benefit analysis dari network sharing tak pernah dibuka kepada masyarakat umum.

Kemudian, langkah yang harus dilakukan Kemkominfo adalah meminta persetujuan dari seluruh pemilik jaringan mengenai rencana pemerintah untuk melakukan berbagi jaringan. Usai mendapatkan persetujuan dari seluruh pemilik jaringan, baru Kemkominfo bisa melakukan uji publik.

Lebih lanjut, pengamat kebijakan publik ini menilai pemerintah tidak memiliki hak untuk mengambil alih kepemilikian jaringan pelaku bisnis.

"Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah memfasilitasi pelaku bisnis untuk dapat mensepakati skema business to business (B2B) dalam rencana network sharing. Bukannya memaksa operator untuk melakukan network sharing," tutur pria yang pernah menjabat sebagai Komisioner di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Yang harus diingat pemerintah, tambah Riant, adalah jaringan telekomunikasi tersebut bukan miliknya, melainkan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi. Ia menganggap, tidak bisa pemerintah memaksa operator untuk melakukan network sharing.

Riant memaparkan, pemberlakuan network sharing dan penetapan harga dapat dilakukan ketika jaringan tersebut dimiliki oleh publik atau dibangun oleh pemerintah melalui dana PSO (Public Service Obligation) atau USO (universal service obligation).

Kesalahan fatal lainnya dari pemerintah dalam revisi PP 52/53 Tahun 2000 adalah Kemkominfo tidak berdiskusi dengan para penyelenggara telekomunikasi yang telah memegang izin penyelenggaraan telekomunikasi melalui frekuensi.

(Isk/Cas)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya