Prancis dan Inggris Kompak Perangi Radikalisme Online

Prancis dan Inggris bekerjasama mengatasi radikalisme online, dengan menyiapkan rencana mempertegas tindakan terhadap perusahaan teknologi.

oleh Andina Librianty diperbarui 14 Jun 2017, 19:00 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2017, 19:00 WIB
20170608-PM Theresa May Berikan Suaranya-AP
Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May ditemani suaminya, Phillip, meninggalkan TPS Kota Maidenhead, Kamis (8/6). Sebanyak 650 anggota parlemen Westminster akan dipilih, dengan sekitar 46,9 juta orang terdaftar untuk memilih. (AP Photo/Alastair Grant)

Liputan6.com, Jakarta - Prancis dan Inggris bekerja sama mengatasi radikalisme online, dengan menyiapkan rencana mempertegas tindakan terhadap perusahaan teknologi yang gagal menghapus konten-konten semacam tersebut.

Karena itu, kedua negara membentuk sebuah kampanye baru untuk memastikan tidak ada ruang bagi teroris dan kriminal di internet.

Dilansir Softpedia, Rabu (14/6/2017), Prancis dan Inggris akan membahas langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi radikalisme online dalam sebuah pertemuan antara Perdana Menteri Inggris, Theresa May dan Presiden Prancis Emmanuel Macron.

Salah satu rencananya adalah menjajaki kemungkinan pertanggungjawaban hukum baru bagi perusahaan teknologi, jika gagal menghapus konten radikal, seperti penalti dalam bentuk denda.

"Kerja sama kontra teroris antara badan intelijen Inggris dan Prancis sudah kuat, tapi Presiden Macron dan saya sepakat bahwa harus ada tindakan lebih untuk mengatasi ancaman teroris online. Kami bersatu untuk penghukuman terorisme dan komitmen membasmi kejahatan ini," jelas Theresa May.

Di Inggris, kata May, pemerintah sudah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan media sosial untuk menghentikan penyebaran materi ekstremis dan propaganda beracun yang memengaruhi pikiran.

Himbauan May untuk memperketat regulasi internet, muncul setelah serangan teroris di London dan Manchester, beberapa waktu lalu. Sebelumnya, Pemerintah Inggris menyerang WhatsApp karena tidak bisa membaca pesan-pesan baru penyerang. Hal ini disebabkan WhatsApp memberikan akses enkripsi end-to-end kepada para pengguna.

Selain itu, negara-negara Eropa terus menekan perusahaan seperti Facebook, Twitter, dan Google, agar lebih memperketat aturan internet, termasuk menghapus ucapan kebencian dan konten teroris di internet.

Di sisi lain, hal tersebut dinilai akan melanggar kebebasan berbicara dan banyak diskusi bisa disalahartikan.

(Din/Isk)

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya