Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah memberlakukan registrasi kartu SIM prabayar berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor kartu keluarga (KK) mulai 31 Oktober 2017 hingga 28 Februari 2018. Hingga Selasa (31/10/2017) sore, tercatat sekitar 5 juta pelanggan (baru dan eksisting) telah melakukan registrasi kartu SIM mereka pada masing-masing operator.
Namun, aturan ini dianggap merugikan oleh pedagang dan outlet seluler di Indonesia yang tergabung dalam Kesatuan Niaga Celluler Indonesia (KNCI). Selasa sore, sejumlah pengurus KNCI berdiskusi dengan Komisioner BRTI, Agung Harsoyo, terkait keberatan mereka terhadap Permen Kominfo No 12 Tahun 2016 yang direvisi dengan Permen Kominfo No 14 Tahun 2017 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi.
Advertisement
Baca Juga
Adapun poin yang membuat mereka keberatan adalah Pasal 11 ayat 1 yang intinya satu orang pelanggan hanya diperkenankan melakukan registrasi terhadap tiga kartu SIM prabayar dari satu operator. Sementara, jika ada kartu SIM ke-4, 5, dan seterusnya, proses registrasi harus dilakukan melalui gerai layanan pelanggan masing-masing operator.
Qutni Tisyari, Ketua DPP KNCI mengatakan, penolakan ini lantaran mekanisme tersebut berdampak negatif terhadap perdagangan produk seluler oleh masyarakat Indonesia.
"Para pedagang seluler mengalami kerugian dan kemungkinan dalam beberapa waktu ke depan seluruh outlet seluler akan tutup. Tentunya ini berkaitan dengan penghidupan dan perekonomian sekitar 5 juta masyarakat Indonesia dalam industri seluler," kata Qutni di Kantor BRTI Jakarta, Selasa (31/10/2017) sore.
Menurut dia, sebelum berlakunya peraturan ini, para pedagang kartu SIM perdana bisa melakukan registrasi pada kartu perdana dan dijual kepada pengguna dalam kondisi kartu aktif. Namun, karena ada pasal yang menyebut registrasi dilakukan petugas gerai resmi operator, para pedagang tak bisa lagi meregistrasikan kartu SIM prabayar tersebut. Dia menyebut, hal ini berpotensi membuat pedagang mengalami kerugian dalam jumlah besar.
Â
Potensi kerugian yang bakal dialami para pedagang
Abbas selaku Sekretaris Jenderal KNCI menambahkan, selama ini distribusi kartu SIM perdana dilakukan oleh pedagang atau gerai seluler.
"Kami yang paling tahu di lapangan. Kalau misalnya ada pelanggan yang datang pada kami untuk membeli SIM card, tapi tidak dapat registrasi, pilihannya cuma dua. Dia tetap beli lalu datang ke gerai resmi operator, atau tidak jadi beli. Nah, kecenderungan yang kami lihat di pasar adalah orang-orang tidak jadi beli," katanya.
Di depan Komisioner BRTI, Abbas juga mengkalkulasi potensi kerugian yang bakal dialami para pedagang jika mereka tidak bisa meregistrasikan kartu SIM ke-4, 5, dan 6 seperti yang sebelumnya bisa dilakukan pedagang.
"Saat ini ada sekitar 800 ribu gerai di seluruh Indonesia yang terdaftar oleh kami. Kalau tiap gerai memiliki stok kartu perdana 100 buah, paling tidak ada 80 juta kartu perdana, baik segel maupun aktif, terancam tidak terjual. Ini akan berdampak pada sekitar 5 juta masyarakat di pasar seluler," tuturnya.
Untuk itu, KNCI mendesak pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada pedagang atau gerai seluler di seluruh Indonesia agar punya kewenangan untuk meregistrasi kartu perdana ke-4, 5, 6 dan seterusnya.
"Kami sudah bertemu dengan operator dan meminta mereka memberikan kewenangan agar pedagang atau gerai seluler bisa melakukan registrasi kartu SIM perdana ke-4, 5, 6 dan seterusnya. Namun, operator mengatakan, hal tersebut bisa dilakukan kalau ada peraturan BRTI. Oleh karena itu, kami ke sini untuk mencari solusinya," tutur Abbas.
Menanggapi tuntutan tersebut, Komisioner BRTI Agung Harsoyo mengatakan, tidak mungkin mengubah peraturan pemerintah yang telah dirumuskan dan melibatkan banyak pihak, salah satunya Kementerian Hukum dan HAM. Namun begitu, ia bersedia memfasilitasi pertemuan antara berbagai stakeholder seperti KNCI, operator seluler, dan pemerintah untuk membicarakan masalah ini.
(Tin/Ysl)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement