Liputan6.com, Jakarta - Dewasa ini Over The Top (OTT) menjadi elemen penting dari supply chain broadband. Tapi sayangnya, nyaris tak ada regulasi yang mengaturnya untuk menjaga kompetisi sehat dengan ekosistem lain, seperti operator telekomunikasi.
Kehadiran regulasi yang mengatur pemain OTT dinilai akan menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di ranah digital.
Baca Juga
Tolong Jangan Tinggalkan Dzikir Pendek Ini setelah Sholat Fardhu meski sedang Buru-Buru, Fadhilahnya Dahsyat Kata UAH
Lama Bungkam, Marcus Rashford Akhirnya Tanggapi Pertanyaan Amorim Soal Nasibnya di Manchester United
Usai Singkirkan Timnas Indonesia, Kapten Filipina Terkesan dengan Kekuatan Thailand di Semifinal Piala AFF 2024
Direktur Wholesale & International Service Telkom Dian Rachmawan menuturkan di beberapa negara setiap upaya untuk memberlakukan peraturan tambahan pada OTT selalu mendapatkan tentangan yang lumayan berat, terutama dengan jargon-jargon sebuah regulasi dapat menghambat inovasi.
Advertisement
"Tetapi, jika OTT dibiarkan berjalan tanpa regulasi, maka sustainibilitas dari ekosistem digital itu bisa tak berlanjut, terutama para operator telekomunikasi yang menjadi bagian dari supply chain broadband," kata Dian melalui keterangannya, Selasa (11/8/2020).
Ia berujar kehadiran regulasi yang mengatur bisnis OTT sudah mendesak bagi NKRI, mengingat para pemain ini sama sekali tidak pernah membayar ongkos infrastruktur dan bahkan pada saat yang sama menghilangkan pendapatan utama operator, yaitu voice dan messaging.
"Sementara pertumbuhan pendapatan dari kenaikan berlangganan data payload selular dan apalagi jaringan tetap yang tidak mengenal terminologi payload, secara offset tidak mampu mencukupi penurunan pendapatan utama voice dan messaging," Dian menjelaskan.
Operator jaringan, ia melanjutkan, dituntut terus melakukan investasi jaringan untuk membuka akses wilayah yang begitu luas dengan ketidakmerataan infrastruktur seperti wilayah NKRI. Sementara OTT, terutama asing, tidak memiliki kewajiban regulasi apapun.
Â
Ketimpangan yang Kontras
Dikarenakan sifatnya yang sangat cair dan global, maka OTT menikmati keuntungan yang luar biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara, sedangkan operator tradisional harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), pajak, dan sumbangan Universal Service Obligation (USO).
Dian mengungkapkan, saat ini terlihat ketimpangan posisi tawar operator jaringan Indonesia dengan OTT, di mana seluruhnya adalah pemain global, sangatlah kontras.
Sebagai contoh, Telkom, Telkomsel dan operator lainnya dalam memberikan kepastian layanan akses yang cepat dengan latensi rendah kepada para pengguna internet terpaksa memberikan fasilitas penempatan server/kolokasi gratis sampai ke ujung (edge) kepada Facebook dan Google.
"Sementara operator jaringan harus berhadapan langsung dengan komplain pelanggannya manakala akses internet mengalami hambatan, bukan OTT," ucapnya menambahkan.
Â
Advertisement
Apakah Mungkin Blokir OTT?
Dian menilai Indonesia tidak mungkin memilih cara dengan memblokir beberapa layanan OTT, karena praktik ini dapat merusak tujuan regulasi utama seperti pilihan konsumen dan inovasi.
"Namun pada saat yang sama, adalah sah bagi pemerintah untuk melakukan intervensi, baik secara langsung atau melalui regulator ketika dianggap kedaulatan nasional terdampak. Kehadiran regulasi bagi OTT harus serius dipikirkan karena mereka (OTT) sudah menjadi ancaman serius bagi kedaulatan nasional," ulasnya.
Dikatakannya, beberapa negara lain sedang mempertimbangkan atau memberlakukan pajak atas pendapatan yang diperoleh dan dieksploitasi oleh OTT.
Tak hanya itu, ada juga regulasi yang memaksa OTT bekerjasama dengan operator jaringan untuk manfaat ekonomi negara yang lebih luas.
"Kami mengusulkan regulasi bagi OTT bukan hanya semata mata untuk kepentingan Telkom sendiri, tetapi untuk NKRI. Jika negara hadir dalam ekosistem digital, maka persaingan sehat akan muncul, masyarakat diuntungkan, serta pelaku usaha terjamin kelangsungan usahanya. Ujungnya, ekonomi digital menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi di masa depan," Dian memungkaskan.
(Isk/Ysl)