Permintaan Menurun, Ekspor China Merosot

China mengalami defisit perdagangan sekitar US$ 23 miliar, terbesar dalam dua tahun ini.

oleh Agustina Melani diperbarui 09 Mar 2014, 18:00 WIB
Diterbitkan 09 Mar 2014, 18:00 WIB
yuan-china-150218b.jpg

Liputan6.com, Beijing - Ekspor China turun tajam sejak krisis keuangan global.  Hal itu menjadi pukulan kepercayaan dalam pertemuan para pemimpin partai Komunis di Beijing.

 

Berdasarkan data, ekspor turun sekitar 18,1% dari tahun sebelumnya. Sedangkan impor naik 10,1% lebih dari yang diproyeksikan. Hal itu membuat China mengalami defisit perdagangan  sekitar US$ 23 miliar, angka ini terbesar dalam dua tahun.

 

Pemerintah menilai penurunan ekspor tersebut disebabkan dampak dari liburan tahun baru China. Para pedagang mencoba ekspor lebih cepat sebelum festival, dan impor setelah libur tahun baru Imlek.

 

"Kami mungkin harus menunggu data bulan depan untuk mendapatkan gambaran yang benar tentang situasi ekspor tetapi tidak perlu khawatir," ujar Wang Tao, Chief China Economist UBS AG, mengutip laman Bloomberg, Minggu (9/3/2014).

 

Adapun ekspor dua bulan turun 1,6%, terbesar untuk periode tersebut sejak 2009. Sementara itu, Biro Statistik Nasional menyebutkan, harga konsumen naik 2% pada Februari dari tahun sebelumnya dibandingkan dengan kenaikan 2,5% pada Januari. Sedangkan harga produsen turun 2%, terbesar sejak Juli. Pemerintah China menargetkan pertumbuhan perdagangan sebesar 7,5% pada 2014.

 

Ekonom Senior Citigroup Inc, Ding Shuang mengatakan, penurunan ekspor tidak seburuk yang kelihatan karena mempertimbangkan liburan. Selain itu, faktor cuaca ekstrim di Amerika Serikat (AS) juga menjadi pertimbangan.

 

Ia mengakui, saat ini orang melihat banyak berita negatif keluar dari China terutama momentum pertumbuhan melambat. Lalu ada perusahaan gagal bayar obligasi sehingga pelaku pasar berpikir hal itu menjadi masalah sistemik dan meluas ke seluruh perekonomian.

 

"Angka-angka ini dapat mendukung pandangan negatif mereka kalau permintaan eksternal bahkan mungkin tidak begitu kuat," tutur Ding.

 

Shanghai Chaori Solar Energy Science and Technology Co, menjadi perusahaan pertama mengalami gagal bayar bunga penuh di pasar obligasi. Menurut Data Bloomberg, debt to equity ratio atau rasio utang terhadap ekuitas telah melonjak 57% sejak 2007.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya