Konversi BBM ke BBG Lamban Akibat Konflik Kepentingan

Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengatakan, konversi ke BBG tak maksimal karena perencanaan tak sungguh-sungguh.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 17 Nov 2014, 14:10 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2014, 14:10 WIB
bbg

Liputan6.com, Jakarta - Program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) berjalan lambat. Indonesia yang menjalankan program konversi sejak tahun 2005 malah jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, yang memulai program konversi di tahun yang sama.

Malaysia kini memiliki 170 stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) dengan jumlah kendaraan berbahan bakar gas (ber-BBG) mencapai 51.364 kendaraan pada 2012, dengan rata-rata pertumbuhan per tahun mencapai 107,35 persen. Sedangkan Indonesia hanya memiliki 19 SPBG dan masih sedikit kendaraan ber-BBG.

Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengatakan, konversi ke BBG tak maksimal karena perencanaan yang dilakukan pemerintah tak sungguh-sungguh.

"Ini terutama masalah lambatnya pengembangan infrastruktur, diduga ada konflik kepentingan dari pebisnis minyak yang tidak mau berkurang marginnya," ujar Faisal, di Jakarta, Senin (17/11/2014). 

Komite Reformasi, kata Faisal, memang tidak akan secara langsung mendorong konversi. Namun, pertama-tama akan diidentifikasi lagi masalah apa saja yang menghambat untuk kemudian diberikan rekomendasi-rekomendasi perbaikan.

Hanya, ia menyarankan, pemerintah menggeber konversi ke BBG minimal di kota-kota besar terlebih dahulu secara sungguh-sungguh dengan memperbanyak infrastruktur penunjang. Pembangunan infrastruktur itu juga diberikan kemudahan.

Ia berharap, agar konversi maksimal, semua pihak mendahulukan kepentingan bangsa dan mengurangi kepentingan pribadi dan golongan bicara. "Perlu tindakan tegas dari Pemerintah agar benturan kepentingan tersebut tidak berlarut larut," tandas dia.

Kata dia, persoalan benturan kepentingan antara pengelolaan minyak dengan gas dan energi alternatif lainnya, memerlukan keputusan pemerintah untuk membagi peran para BUMN agar tata kelola energi tidak saling tumpang tindih, apalagi menghambat pengembangan energi alternatif.

Untuk itu partisipasi dan dukungan dari semua pihak baik pelaku usaha, pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan masyarakat sebagai konsumen untuk sama sama mengawasi jalannya pengelolaan energi agar terjadi konversi utk keberlangsungan energi bagi generasi berikutnya.

Ternyata pembentukan Komite Reformasi Tata Kelola Migas disambut baik perusahaan energi dari Amerika, ConocoPhillips yang mendukung pembentukan komite anti mafia migas tersebut.

"Kami dukung program tersebut," tegas Vice Presiden Development and Relation ConocoPhillips Joang Laksanto di Kantor Wapres, Jakarta.

Dia  mengaku pihaknya mendukung kebijakan pemerintah, selama hal tersebut demi penyederhanaan izin kerja. Ia pun menegaskan perusahaannya bebas dari campur tangan mafia migas.

"Kita hanya di hulu. Tidak ada indikasi (kalau ConocoPhillips terlibat mafia migas). Itu sudah ranah hukum," terang Joang.
(Sil/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya