Sering Bikin Kebijakan Gradak Gruduk, RI Harus Tiru Korea

Korea berhasil mengembangkan industri manufaktur untuk menggenjot pertumbuhan ekonominya.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 10 Feb 2015, 15:35 WIB
Diterbitkan 10 Feb 2015, 15:35 WIB
Presiden Joko widodo Pimpin Sidang Kabinet Paripurna
Suasana Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (4/2/2015). Sidang Paripurna membahas Pilkada serentak, Perppu perubahan UU tentang kelautan, dan tentang perumahan rakyat. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK)  saat ini tengah getol membangun dan menumbuhkan industri hilirisasi dan manufaktur di Indonesia. Dalam realisasinya, negara ini bisa belajar dari Korea dan Singapura yang sukses mencatatkan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi lewat industri manufaktur dan hilirisasi.

Peneliti Senior Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Hidayat Amir mengatakan, pemerintah telah mendesain kebijakan pembangunan industri hilirisasi untuk mineral dan batubara (minerba) sejak 2012. Namun pada pelaksanaannya, ada dilema yang menyelimuti pemerintah dari sisi untung dan rugi.

"Keuntungannya kita bisa dapatkan nilai tambah dari ekspor minerba karena sudah diproses, tapi di situ ada ketakutan melarang ekspor mineral mentah, ekspor kita pasti turun. Sebetulnya kita mendesain creating value tidak sabar, padahal kebijakan industri butuh waktu panjang untuk merasakan hasilnya," ucap Ketua Bidang Sinergi AntarLembaha Litbang-Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo) di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (10/2/2015).

Hidayat mencontohkan, Korea berhasil mengembangkan industri manufaktur untuk menggenjot pertumbuhan ekonominya. Antara kondisi politik dan ekonomi mendukung karena dibekingi militer yang menjamin keamanan setiap pelaksanaan kebijakan. Dalam membuat kebijakan industri dikomunikasikan dalam sebuah konsensus.

"Pada 10 tahun lalu siapa yang mau beli ponsel dan mobil dari Korea. Diberikan cuma-cuma pun tidak ada yang mau beli produk Korea. Tapi mereka investasi di bidang semi konduktor 30 tahun, dan mayoritas ekspornya cuma dari dua merek. Itu amazing apalagi demokrasi politik selalu di belakang demokrasi ekonomi karena dijaga militer supaya tidak terjadi konflik," ujarnya.

Contoh lain, lanjut Hidayat, Singapura sudah mempunyai rencana pembangunan industri 40 tahun ke depan. Bukan hanya dalam bentuk dokumen tebal, melainkan video sehingga siapapun dapat melihat rancangan besar kebijakan industri Negeri Singa itu di masa depan.

"Rencana kebijakan itu diperbaharui terus selama 10 tahun sekali. Sedangkan kita kadang bikin kebijakan gradak gruduk, dokumennya ada tapi realisasinya susah terkendali banyak masalah. Padahal kalau mau bikin kebijakan industri bahkan sampai pengelolaan utang pun harus hati-hati, jangan sampai memakmurkan masyarakat sementara, setelah itu bangkrut," tukas Hidayat. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya