Komisi IX DPR RI Minta Pemerintah Revisi PP Jaminan Hari Tua

Komisi IX DPR RI juga berharap pemerintah merevisi jaminan pensiun yang akan diberikan setiap bulan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 07 Jul 2015, 12:49 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2015, 12:49 WIB
Ilustrasi BPJS Ketenagakerjaan
Ilustrasi BPJS Ketenagakerjaan. (M. Iqbal/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi IX DPR ‎telah meluncurkan ultimatum kepada Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Hanif Dhakiri untuk merevisi tiga Peraturan Pemerintah (PP) terkait Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dalam kurun waktu 2x24 jam atau dua hari. Inilah bentuk pengawasan DPR terhadap hak-hak buruh.

Anggota Komisi IX DPR, Rieke Dyah Pitaloka menegaskan, pencairan JHT di atas 10 tahun merupakan salah satu ‎contoh mismanajemen pemerintah. Aturan soal JHT ini tertuang di Undang-undang SJSN, sementara teknisnya ada di PP.

"Jadi harusnya ada ruang buat buruh dalam kondisi tertentu bisa diambil uangnya, misalnya saat kontrak kerjanya habis atau kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga mereka mengharapkan hidup dari JHT," ujarnya saat berbincang di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (7/7/2015).

Menurut Rieke, ini persoalan serius karena aset Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan senilai Rp 197 triliun bukanlah uang yang sedikit. Pundi-pundi uang yang tersimpan di BPJS tersebut merupakan uang pekerja yang diambil dari potongan upah dan sebagainya.

Komisi IX pun mendesak pemerintah merevisi PP tersebut. Pertama, kata Rieke dengan mencabut PP JHT baru, lalu merevisinya dan memasukkan aturan lama ke dalam revisi ‎yakni JHT bisa diambil dengan masa kepesertaan 5 tahun.

"Itu kan bukan uang pemerintah. ‎Jadi minta PP JHT di revisi. Aturan lama dimasukkan lagi ke peraturan baru. Di mana 5 tahun bisa diambil," paparnya.

Di samping itu, dijelaskan Rieke, Komisi IX DPR RI juga berharap pemerintah merevisi jaminan pensiun yang akan diberikan setiap bulan seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini sudah diberlakukan di negara lain. Pemerintah telah menetapkan iuran pensiun 3 persen, yakni 1 persen dari pekerja dan pengusaha 2 persen.

"Iuran 3 persen itu sedikit, karena dapatnya cuma Rp 300 ribu per bulan dan Rp 3 juta paling besar tapi 15 tahun kemudian. Sama kayak Bantuan Langsung Tunai. PNS saja memperoleh manfaat pensiun 75 persen, jadi pekerja atau buruh idealnya 60 persen," terang dia.

Dia mengaku, meski sudah mengeluarkan ancaman revisi PP 2x24 jam, DPR tidak bisa berbuat apa-apa. Ini merupakan fungsi pengawasan DPR terhadap setiap kebijakan yang diambil pemerintah.

"Makanya pekerja di seluruh Indonesia harus bergerak bersama. Ini hak pekerja. Saya berharap Menaker hadir dalam rapat kerja dengan Komisi IX, kalau tidak, dua kali dia tidak hadir, padahal ini penting," tegas Rieke. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya