Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meminta kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) agar tidak menjadikan ekonomi melambat sebagai kambing hitam maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 11.350 pekerja sepanjang Januari-Juli 2015.
Kondisi ini terjadi karena minimnya penyerapan belanja pemerintah hampir Rp 2.000 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.
Ketua Umum API, Ade Sudrajat mengatakan data Kementerian Tenaga Kerja yang menyebut PHK 11.350 pekerja selama tujuh bulan ini kemungkinan bisa lebih banyak. Lantaran itu hanya berdasarkan laporan Kepala Dinas Ketenagakerjaan masing-masing daerah.
Advertisement
"Itu berdasarkan yang laporan. Coba kalau Kemenaker jemput bola, pasti data PHK lebih banyak. Jangan cuma duduk manis karena banyak perusahaan yang tidak mau lapor atas kasus PHK," ucap dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Minggu (26/7/2015).
Ade meminta agar pemerintah tidak selalu menyalahkan perlambatan ekonomi sebagai penyebab perusahaan memecat pekerjanya mengingat perlambatan ekonomi berkaitan erat dengan APBN.
Di era pemerintahan Jokowi, Ade mengakui penyerapan belanja negara sangat rendah hingga Juli tahun ini dibandingkan zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Ada perubahan nomenklatur sehingga uang tidak bisa masuk, dan belanja negara yang sifatnya belanja pengadaan barang tidak bisa segera cair. Belum lagi anggaran multiyears pada sektor konstruksi sangat sulit direalisasikan tahun ini. Jadi jangan salahkan perlambatan ekonomi," terang Ade.
Dia mengatakan, jika pagu belanja negara hampir Rp 2.000 triliun dapat terserap dengan maksimal di tahun ini, maka dampak terhadap penciptaan dan penyerapan lapangan kerja sangat luar biasa.
"Nilai anggaran belanja itu tidak sedikit. Kalau bisa terealisasi, pasti jumlah PHK tidak akan sebanyak itu," ujar Ade. (Fik/Ahm)