Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan, nilai tukar rupiah terus tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terjadi lantaran devaluasi atau penurunan nilai mata uang China Yuan.
"Ini salah satu efek devaluasi Yuan kemarin, akibat Yuan-nya melemahkan ke dolar, maka Indonesia kena imbas," kata JK, di Hotel Luwansa, Jakarta, Rabu (12/8/2015).
JK juga menambahkan dampak dari devaluasi Yuan juga melemahkan nilai mata uang negara-negara di Asia. "Bukan hanya Indonesia tapi negara-negara Asia lain juga. Selalu ada korelasi internal dan eksternal," tutur JK.
Advertisement
Jusuf Kalla juga mengatakan pelemahan ini bukan dampak reshuffle atau perombakan kabinet.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara menjelaskan, pelemahan rupiah yang terjadi pada Selasa 11 Agustus 2015, lebih disebabkan karena reaksi pelaku pasar terhadap keputusan pemerintah China yang melakukan depresiasi dengan melebarkan rentang mata uangnya (currency band).
Pelebaran rentang mata uang tersebut dilakukan oleh pemerintah China untuk mengurangi pelarian modal, meningkatkan daya saing Yuan agar mendorong ekspor dan melindungi investor dalam negeri.
"Saat ini mata uang Jepang, Korea dan Eropa, yang merupakan pesaing dagang utama China sudah mengalami depresiasi yang cukup besar," jelas Mirza.
Di sisi lain, kebijakan di China tersebut berpengaruh terhadap seluruh mata uang regional termasuk rupiah. Hampir seluruh mata uang global melemah terhadap dolar AS.
Mengutip data Bloomberg, Rabu pekan ini, rupiah sempat menyentuh level 13.820 per dolar AS pada pukul 09.55 WIB. Level tersebut merupakan level terendah dalam 17 tahun terakhir setelah sempat menyentuh level 15.000 pada 1998 lalu.
Sementara kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah menjadi 13.758 per dolar AS dari perdagangan sebelumnya yang berada di level 13.541 per dolar AS.
Negeri tirai bambu pada Selasa 11 Agustus kemarin, mendevaluasi mata uang Yuan hingga 1,9 persen. Langkah devaluasi tersebut memang sengaja dilakukan untuk mendorong produk ekspor China agar lebih kompetitif di pasar internasional. pemerintah China sedang mencoba berbagai cara agar bisa mendorong pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi.
Dalam beberapa kuartal terakhir, pertumbuhan ekonomi China terus berada di level 7 persen. Padahal selama beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi China terus berada di atas level 10 persen.
Ekonom PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova mengatakan, dampak devaluasi Yuan terhadap rupiah tidak terlalu besar. Menurut Rully, justru rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat yang cukup menekan indeks dan akan berlangsung cukup lama.
"Jika hanya devaluasi Yuan kemungkinan (pelemahan rupiah) hanya sementara, yang lama itu suku bunga AS (rencana kenaikan suku bunga AS)" kata Rully.
Rully melanjutkan, pelemahan rupiah bisa lebih dalam jika ada balasan dari beberapa negara lain kepada China. "Negara dengan orientasi ekspor lebih konsen dengan nilai mata uangnya," ujar Rully. (Silvanus A/Ahm)