Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menganggap kenaikan utang luar negeri (ULN) wajar bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Utang merupakan jalan keluar ketika penerimaan negara minim di tengah kebutuhan pembiayaan pembangunan yang besar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, Indonesia sangat membutuhkan pendanaan cukup besar untuk membiayai kegiatan produktif termasuk membangun infrastruktur. Pembangunan ini guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
"Pada situasi sekarang ini, kita perlu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran pemerintah di APBN. Tapi penerimaan kita tidak terlalu baik, tahun lalu tidak mencapai target dan tahun ini begitu juga," jelas Darmin di kantornya, Jakarta, Rabu (24/2/2016).
Advertisement
Atas dasar itu, Ia menuturkan, pemerintah mau pun pihak swasta meminjam dari luar negeri, termasuk penerbitan surat utang dalam denominasi valuta asing (valas).Â
Baca Juga
"Kemungkinan pinjaman memang perlu ada, tapi tetap dalam kerangka yang aman. Tentu dengan mempertimbangkan defisit APBN tidak besar, dan total pinjaman terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih rendah. Tapi kita tetap pantau defisit anggaran supaya aman," kata dia.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) melaporkan, posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal IV 2015 tercatat sebesar US$ 310,7 miliar. Angka ini naik 2,8 persen dibandingkan kuartal III 2015 sebesar US$ 302,3 miliar.
Dalam keterangan BI, seperti dikutip Minggu 21 Februari 2016, menyebutkan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, posisi total ULN meningkat US$ 17 miliar atau tumbuh 5,8 persen dari posisi akhir 2014 sebesar US$ 293,8 miliar.
"Dengan perkembangan tersebut, rasio ULN terhadap produk domestik bruto (PDB) pada akhir kuartal IV 2015 tercatat sebesar 36,1 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan 34,8 persen pada akhir kuartal III 2015 dan 33,0 persen pada akhir tahun 2014," menurut penjelasan BI.
Berdasarkan jangka waktu asal, kenaikan tersebut dipengaruhi ULN jangka panjang yang meningkat. Sementara ULN jangka pendek menurun.
Posisi ULN Indonesia didominasi ULN berjangka panjang mencapai 86,7 persen dari total ULN. ULN berjangka panjang pada akhir kuartal IV 2015 mencapai US$ 269,4 miliar, naik 3,6 persen dibandingkan dengan posisi akhir kuartal III 2015 yang tercatat sebesar US$ 260 miliar.
Di sisi lain, ULN berjangka pendek turun 2,4 persen dari US$ 42,3 miliar pada akhir kuartal III 2015 menjadi US$ 41,3 miliar pada akhir kuartal IV 2015.
"Dengan perkembangan tersebut, kemampuan cadangan devisa untuk menutupi kewajiban jangka pendek membaik, tercermin pada rasio utang jangka pendek terhadap cadangan devisa yang turun dari 41,6 persen pada kuartal III 2015 menjadi 39,0 persen pada kuartal IV 2015," papar BI. ​​
Sedangkan berdasarkan kelompok peminjam, kenaikan dipengaruhi ULN sektor publik yang meningkat, sementara sektor swasta menurun. Posisi ULN Indonesia didominasi ULN sektor swasta. ULN sektor publik meningkat 6,6 persen (qtq) sehingga posisinya pada akhir kuartal IV 2015 menjadi sebesar US$ 143 miliar (46 persen dari total ULN).
Di sisi lain, posisi ULN swasta turun 0,2 persen (qtq) sehingga menjadi US$ 167,7 miliar (54,0 persen dari total ULN) pada akhir kuartal IV 2015. ​​Pada sektor swasta, posisi ULN pada akhir kuartal IV 2015 terutama terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih.
Pangsa ULN keempat sektor tersebut terhadap total ULN swasta mencapai 76,2 persen. Bila dibandingkan dengan kuartal III 2015, posisi ULN sektor keuangan tumbuh 1,7 persen.
Sementara ULN sektor industri pengolahan, sektor pertambangan, dan sektor listrik, gas dan air bersih turun masing-masing sebesar 1,5 persen, 2,1 persen, dan 0,5 persen. ​​
Bank Indonesia memandang perkembangan ULN pada kuartal IV 2015 masih cukup sehat, namun perlu terus diwaspadai risikonya terhadap perekonomian nasional.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus memantau perkembangan utang luar negeri, khususnya sektor swasta. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa ULN dapat berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas makroekonomi. (Fik/Ahm)