Demi Martabat Orang Miskin, Kualitas Raskin Harus Meningkat

Dari konsumsi beras nasional 33 juta ton per tahun, sebanyak 3,3 juta ton sampai 3,5 juta ton atau 10 persen adalah raskin.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 19 Mei 2016, 08:20 WIB
Diterbitkan 19 Mei 2016, 08:20 WIB
Jokowi
Presiden Joko Widodo memberikan sambutan saat meninjau Gudang Beras Bulog , Jakarta, Rabu (25/2/2015). Pada kunjungan itu, presiden meresmikan penyaluran serentak beras miskin (raskin) dan operasi pasar beras tahun 2015. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta meningkatkan kualitas beras bagi rakyat miskin (raskin) yang terbukti efektif untuk menjaga stabilitas harga pangan nasional khususnya beras.

Pengamat Kebijakan Pertanian Bustanul Arifin mengungkapkan, dari konsumsi beras 33 juta ton per tahun, sebanyak 3,3 juta ton sampai 3,5 juta ton atau 10 persen adalah raskin. Maka dari itu, jika penyaluran raskin terlambat bisa berdampak ke inflasi dari sektor pangan.

Menurut dia, kebijakan raskin terbukti memberikan kontribusi terhadap instabilitas harga pangan. "Kalau penyaluran raskin terlambat, maka harga pangan melonjak," kata Bustanul Arifin, Kamis (19/5/2016).

Dia menyebutkan, pada 2015 penyaluran raskin sempat mengalami keterlambatan hingga dua bulan. Saat itu harga pangan, terutama beras melonjak hingga 25 persen. Dari data itu, dirinya mempertanyakan rencana kebijakan penggantian raskin dengan voucher.


Menurut dia, hal yang perlu diperbaiki dari raskin adalah perbaikan kualitas dan kuantitas beras, yang selama ini memang masih belum  memadai. “Tujuannya adalah meningkatkan martabat orang miskin agar mereka juga bisa mengkonsumsi beras yang layak,” ujarnya.

Terkait  rencana penggantian raskin dengan voucher, Bustanul mengatakan, boleh saja dilakukan namun tujuannya harus satu yaitu bagaimana meningkatkan martabat orang miskin.  

“Instrumennya bisa macam-macam termasuk pemberian voucher sebagai pengganti raskin, namun kalau tujuannya berbeda maka akan tidak baik nantinya,” ungkap Bustanul.

Kalaupun diterapkan, sebaiknya pengawasan harus diperketat dengan mempertajam sasaran penerima. Tahap awal, konsep ini bisa dicoba untuk beberapa perkotaan, namun raskin diminta untuk tidak dihapus. Nantinya, harus ada perbandingan, mana yang lebih efektif  apakah raskin atau voucher.

Di tempat yang sama, Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Manajemen Isu Strategis, Denni Puspa Purbasari mengatakan, saat ini payung hukum untuk kebijakan pangan sedang disiapkan.

Dia mengungkapkan bahwa pada Mei 2016 ini akan keluar Keputusan Presiden tentang voucher pangan. "Pada Januari 2017 aktivasi sistem penyaluran baru (Voucher Pangan) di kota. Dan, pada Januari 2018 di tingkat kabupaten," jelas Denni. (Yas/nrm)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya