RI Tak Perlu Impor Beras Hadapi Ramadan

Kementan menyebutkan impor beras hanya akan menguras devisa dan menyengsarakan petani.

oleh Septian Deny diperbarui 08 Mei 2016, 11:52 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2016, 11:52 WIB
20160503-Pasar- Inflasi Masih Terkendali Hingga Juni-Jakarta-Angga Yuniar
Pedagang tengah menata dagangannya di salah satu pasar di Jakarta, Selasa (3/5). Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan harga bahan kebutuhan pokok relatif terkendali seperti beras dan daging ayam. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan stok beras di dalam negeri lebih dari cukup mencukupi kebutuhan nasional, bahkan saat Ramadan dan Lebaran. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk membuka keran impor beras.

Kepala Pusat Data dan Informasi Kementan, Suwandi mengatakan, stok beras di Perum Bulog pada Februari 2016 sebanyak 1,4 juta ton dan hingga April 2016 mendekati 2 juta ton.

Data stok Bulog pada Januari 2015-April 2016 sepanjang waktu tidak pernah menipis. Sementara itu, produksi padi Maret-Juni 2016 diprediksi sekitar 35,5 juta ton gabah kering giling (GKG).

"Stok Bulog dari pengadaan domestik pun sudah mencukupi tanpa impor. Jadi beras kita cukup, tidak perlu impor," ujar dia di Jakarta, Minggu (8/5/2016).

Suwandi menuturkan, untuk mengurai masalah beras bukan sekadar analisis supply-demand semata, tetapi mencakup aspek multi dimensi dan sangat kompleks. Faktanya gejolak harga beras bukan akibat pasokan kurang, tetapi harga dibentuk oleh faktor lain terkait tata niaga.

"Gejolak harga beras di pasaran bukan karena faktor pasokan, tetapi faktor lain yang harus diatasi bersama. Impor beras hanya akan menguras devisa dan menyengsarakan petani," kata dia.

Dia menjelaskan, setidaknya ada tiga hierarki pasar beras. Pada masing-masing hierarki mempunyai faktor pembentuk harga berbeda-beda. Mengingat faktor pembentuk harga berbeda-beda maka solusi kebijakan pun berbeda pula.

Pertama, pasar di tingkat produsen. Faktor pembentuk harga gabah ditentukan oleh pasokan, sehingga pada saat panen raya harga gabah jatuh dan sebaliknya. Solusi kebijakan pemerintah dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

"Eksekusi kebijakan saat ini juga sudah tepat yaitu Bulog menyerap gabah langsung ke petani.  Dampaknya petani menikmati harga wajar, stok beras terpenuhi dan tata niaga menjadi lebih baik," ujar Suwandi.

Kedua, pasar beras di tingkat konsumen. Uji korelasi, regresi dan lainnya menunjukkan tidak ada hubungan antara harga beras dengan pasokan.

Pembentuk harga beras di eceran atau konsumen bukan faktor pasokan, tetapi faktor lain seperti faktor distribusi, sistem logistik, rantai pasok, asimetri informasi, ekspektasi, disparitas harga, struktur maupun perilaku pasar.

Dia mengungkapkan, data harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) pada 29 April 2016 berkisar Rp 8.000-Rp 13.300 per kg, sedangkan harga gabah kering panen (GKP) di petani Rp 3.700 per kg setara beras Rp 6.491 per kg.

BPS juga menyebutkan pada Maret 2016, harga GKP di petani turun 9.76 persen dibandingkan Februari 2016. Namun, harga beras di tingkat penggilingan turun 1.84 persen, di pedagang grosir turun 0,44 persen dan di tingkat pedagang eceran turun 0,56 persen.

"Data ini menunjukkan ada disparitas harga yang tinggi dan terjadi anomali sehingga harga di konsumen tidak ditransmisikan dengan baik kepada harga produsen dan sebaliknya," ujar Suwandi.

Hierarki yang ketiga, pasar beras internasional. Pembentuk harga bukan ditentukan ekonomi supply-demand semata, melainkan aspek lebih yang luas seperti konsumsi dan produksi global, kondisi iklim, ekonomi global, harga energi, nilai tukar mata uang, termasuk food security. (Dny/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya