Panas Bumi Kalah Bersaing dengan Energi Fosil, Ini Sebabnya

Asosiasi ‎Panas Bumi (API) menyatakan, saat ini panas bumi belum bisa menjadi sumber energi andalan,

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 09 Agu 2016, 13:24 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2016, 13:24 WIB
Panas Bumi merupakan salah satu energi baru terbarukan.
Panas Bumi merupakan salah satu energi baru terbarukan.

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi ‎Panas Bumi (API) menyatakan, saat ini panas bumi belum bisa menjadi sumber energi andalan, karena energi fosil masih diminati sehingga membuat pengembangan energi panas bumi lambat.

Ketua API Abadi Purnomo mengatakan energi panas bumi sulit bersaing dengan energi fosil, pasalnya harganya yang dinilai mahal. Pada era 1980-an, harga minyak masih rendah ditambah dengan adanya subsidi, dengan begitu energi panas bumi untuk sumber kelistrikan belum dilirik.

"Pengembangan panas bumi, karena tidak bisa bersaing dengan fosil, kita masih kalah bersaing dengan minyak subsidi saat ini harga murah karena semua pake diesel," kata Abadi, di Jakarta, Selasa (9/8/2016).

Abadi melanjutkan, meski zaman telah berubah dan harga minyak sudah tidak murah dan disubsidi lagi, pengembangan panas energi bumi ‎tetap berjalan lambat. Karena masih ada energi fosil yang harganya lebih murah.

Energi fosil tersebut adalah batubara, harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hanya US$ 5 sampai US$ 6 per Kilo Watt hour (KWh), sedangkan harga listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi US$ 10 per KWH, sementara rata-rata biaya pokok produksi PLN hanya US$ 9 Kwh.

"Beranjak tahun 90 ke sini, bersaing dengan pembangkit batubara lebih murah 5-6 sen per KWh panas bumi 10 sen," tutur Abadi.

Sementara itu, Direktur Panas Bumi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak mengungkapkan, untuk mendorong perkembangan listrik dari panas bumi dan menarik investasi di sektor itu, pemerintah mengeluarkan aturan Feed In tarif, yang mengatur harga listrik dari panas bumi.

"Salah satu cara mendorong pengembangan panas bumi kita buat feed in tarif," tutup Yunus.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya