Lebih Baik Desain Uang Baru atau Redenominasi Rupiah?

Saat ini sesungguhnya sangat mungkin melanjutkan kembali kebijakan redenominasi rupiah.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 18 Sep 2016, 10:05 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2016, 10:05 WIB
20151229-Transaksi-Rupiah-AY
Teller menghitung uang rupiah di Bank Bukopin Syariah, Jakarta, Selasa (29/12). Rupiah kembali melemah, di tengah sepinya transaksi jelang libur Tahun Baru Hingga akhir pekan, pergerakan rupiah diperkirakan masih terbatas. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyetujui penggunaan 11 pahlawan nasional pada desain mata uang rupiah yang baru. Padahal saat ini, kebijakan redenominasi atau penyederhanaan nilai nominal rupiah dinilai lebih baik daripada mencetak uang anyar.

Analis Pasar Uang PT Bank Mandiri Tbk, Reny Eka Putri mengatakan, lebih memilih BI dan pemerintah menghidupkan kembali rencana redenominasi yang sudah sempat disosialisasikan ke masyarakat pada 2012. Kebijakan ini penting untuk meningkatkan kepercayaan terhadap mata uang rupiah.

"Penyesuaian nilai (value) mata uang dari rupiah itu lebih penting daripada sekadar mengganti motif atau gambar supaya rupiah tidak dianggap terlalu murah oleh negara lain," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (18/9/2016).

Ia mengatakan, dihitung terhadap dolar Amerika Serikat (AS), hanya rupiah yang memiliki banyak angka nol di belakang. Itu sangat tidak efisien. "Kesannya mata uang kita murah sekali di pasar internasional," jelas Reny.  

Redenominasi seperti diketahui adalah penyederhanaan jumlah digit pada denominasi atau pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai tukar rupiah terhadap barang atau jasa.

Sederhananya, langkah ini untuk mengurangi tiga nol di belakang uang rupiah. Contohnya, uang nominal Rp 50 ribu. Setelah redenominasi menjadi Rp 50, tanpa menurunkan daya beli masyarakat.

Dihubungi terpisah, Pengamat Valas Farial Anwar menjelaskan, saat ini sesungguhnya sangat mungkin melanjutkan kembali kebijakan redenominasi rupiah. Alasannya, gejolak ekonomi global dan domestik relatif berkurang setelah terombang ambing ketidakpastian Bank Sentral AS selama dua tahun.

Sebab, ia mengungkapkan, pelaksanaan redenominasi empat tahun lalu ditunda karena ekonomi dunia tengah menghadapi badai krisis Asia sehingga dikhawatirkan makin menimbulkan kepanikan.

Apalagi masyarakat menganggap redenominasi seperti sanering yang memangkas nilai uang rupiah. Kondisi tersebut akan menimbulkan inflasi karena harga barang berpotensi melonjak. Kecemasan lain, orang atau investor enggan memegang mata uang Garuda lantaran nilainya yang makin merosot.   

"Tapi kondisi sekarang gejolak ekonomi relatif kecil, momentum pertumbuhan lebih baik, tren rupiah semakin positif sehingga redenominasi bisa saja dilanjutkan pembicaraannya," saran Farial.

Dengan redenominasi, Farial memperkirakan volatilitas kurs rupiah tidak akan separah sekarang. Manfaat lainnya, memudahkan dalam penyusunan keuangan negara, laporan keuangan perusahaan.

"Paling penting jika diredenominasi, rupiah tidak dianggap lagi mata uang sampah karena sekarang ini 1 dolar setara dengan Rp 13.200. BI juga tidak perlu menerbitkan atau mencetak uang sampai nominal Rp 100.000 dengam jumlah mencapai triliunan rupiah," paparnya.  (Fik/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya