Liputan6.com, New York - Harga minyak tertekan pada penutupan perdagangan Rabu (Kamis pagi waktu Jakarta), setelah sebelumnya mengalami penguatan dalam delapan sesi berturut-turut. Pelaku pasar menunggu data pasokan minyak di Amerika Serikat (AS).
Mengutip Reuters, Kamis (13/4/2017), harga minyak berjangka jenis Brent turun 37 sen menjadi US$ 55,86 per barel setelah sebelumnya sempat mencapai US$ 56,65 per barel yang merupakan harga tertinggi dalam satu bulan terakhir.
Sedangkan harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) turun 29 sen dan menetap di US$ 53,11 per barel setelah menyentuh tertinggi sejak 7 Maret di US$ 53,76 per barel.
Advertisement
Baca Juga
Para pelaku pasar fokus kepada data produksi AS yang akan dikeluarkan oleh U.S. Energy Information Administration (EIA). Beberapa analis memperkirakan bahwa data produksi AS akan melonjak pada pekan ini.
"Persediaan minyak mentah di Cushing naik 0,28 juta barel ke 69,42 juta barel," tulis Standard Chartered dalam catatannya ke nasabah. Penambahan pasokan minyak ini akan menekan harga karena diperkirakan akan melebihi dari kebutuhan yang ada.Â
Sebelumnya, harga minyak mampu menguat selama satu bulan karena Arab Saudi melaporkan bahwa mereka akan mendorong negara-negara yang tergabung dalam organisasi pengekspor minyak (OPEC) untuk melanjutkan pembatasan produksi.
Semula, anggota OPEC dan 11 negara di luar OPEC sepakat untuk membatasi produksi minyak selama enam bulan dari Januari hingga Juni. Namun di tengah berlangsungnya kesepakatan tersebut muncul ide untuk memperpanjang jangka waktu kesepakatan tersebut.
Harga minyak menguat juga akibat penghentian operasi di ladang minyak terbesar Libya selama akhir pekan dan ketegangan geopolitik seiring langkah Amerika Serikat (AS) yang menembakkan serangan rudal ke Suriah pada pekan lalu.
Sharara, ladang minyak terbesar di Libya ditutup pada hari Minggu setelah sekelompok orang memblokir pipa yang menghubungkan ke terminal minyak. Padahal, lapangan baru saja kembali berproduksi, setelah terhenti selama seminggu pada awal April.
"Ada beberapa masalah geopolitik saat ini. Selain itu, Libya tidak memproduksi minyak, sehingga menambah bullish di pasar," kata Phil Flynn, Analis Price Futures Group di Chicago. (Gdn/Ndw)
Â