Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan Jepang pernah menguasai industri elektronik. Namun, kini mereka menjadi sorotan bukan lantaran produk yang dipunyai tetapi masalah yang dihadapi.
Perusahaan di Jepang yang menemukan walkman, dan merek-merek perusahaan Jepang yang menghadirkan tren utama seperti ponsel pintar kini meredup lantaran birokrasi perusahaan. Selain itu, kehilangan dana dan skandal akuntansi.
Berikut sejumlah perusahaan Jepang dahulu begitu spektakuler kini meredup seperti dikutip dari laman CNN Money, seperti ditulis Selasa (9/5/2017):
Advertisement
Baca Juga
1. Toshiba
Perusahaan ini kini di tepi jurang. Pelopor laptop, televisi dan barang elektronik rumah tangga lainnya telah bergabung dengan jajaran perusahaan Jepang lainnya yang terus berjuang dan didukung oleh bank.
"Toshiba adalah zombie terakhir," ujar Jesper Koll, CEO WisdomTree Investments Japan.
Toshiba telah kehilangan tempat sehingga ditempati posisinya perusahaan-perusahaan di China dan Korea Selatan. Kini Toshiba bergerak ke bisnis lain dengan investasi di industri tenaga nuklir dengan membeli perusahaan Westerhouse milik Amerika Serikat.
Kemudian perusahaan mengalami masalah dengan skandal akuntansi besar-besaran pada 2015. Pada Februari, Toshiba menyatakan penundaan besar-besaran dan biaya di divisi nuklir AS.
Westinghouse telah mengajukan kebangkrutan. Toshiba pun memperingatkan soal kelangsungan perusahaan. harga saham Toshiba pun langsung anjlok. Perseroan bahkan menjual bisnis chip memori dan aset lainnya agar bertahan.
2. Sharp
Sharp terjual ke Foxconn. Sharp terkenal pada 1980 dengan produknya kalkulator high end, VCR, dan pemutar kaset portabel. Perseroan pun bertaruh mengembangkan televisi LCD dan panel displays untuk sementara waktu. Namun, penguatan yen dan krisis keuangan global membuat permintaan anjlok.
Sharp berada di tepi kebangkrutan selama bertahun-tahun, namun bank dapat menebusnya. Pihaknya pernah alami kerugian besar dan memangkas 5.000 pekerja di global pada 2015.
"Itu memang tidak terlalu banyak. Akan tetapi itu jumlah besar untuk tempat seperti di Jepang yang sering menjalankan bisnis untuk membuat semua orang dipekerjakan," kata Keith Henry, Pendiri Asia Strategy di Tokyo.
Pada tahun lalu, Sharp dibeli oleh produsen elektronik Taiwan Foxconn.
Olympus
3. Olympus
Olympus memulai usaha untuk produsen mikroskop domestik dan kemudian menjadi produsen kamera, serta pemasok peralatan medis terkemuka.
Akan tetapi, praktik akuntansi perusahaan telah menyeretnya ke sebuah skandal. Pada 2011, Michael Woodford yang berasal dari Inggris menjadi CEO Non Jepang Olympus pertama, dan dengan cepat menemukan perusahaan itu telah memalsukan laporan keuangan usai menyembunyikan kerugian bertahun-tahun sejak 1990.
Ketika dia mulai mengajukan pertanyaan itu, dewan pun memecatnya dengan tiba-tiba. Namun kerusakan keuangan terjadi. Akan tetapi Woodford menjadi whistleblower, dan mengungkapkan penipuan akuntansi senilai US$ 1,3 miliar dalam 13 tahun.
Woodfor menuturkan, budaya Jepang dengan kesopanan begitu ekstrem telah berkontribusi terhadap masalah di Olympus. Kelalaian telah menciptakan lingkungan yang membuat keputusan manajemen yang buruk.
Dengan tim baru yang bertanggung jawab, perusahaan telah kembali dengan mengesankan. Harga saham Olympus naik hampir 10 kalilipta dari posisi terendah pada 2011 berkt penjualan peralatan medis yang kuat.
4. Sanyo
Sanyo dibeli oleh Panasonic. Sanyo pernah menjadi produsen elektronik konsumen terbesar ketiga di Jepang yang menjual baterai ponsel dan peralatan rumah tangga.
Pada 2000, perusahaan itu hadapi goncangan berkepanjangan dan bergulat untuk persaingan dengan China dan Korea Selatan.
Tak hanya persaingan, yen menguat juga membuat ekspor Jepang lebih mahal. Ini menekan produsen termasuk Sanyo. Panasonic pun mengambil alih Sanyo pada 2009.
Advertisement