Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tengah mengkaji pembangunan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau disebut tanggul laut di wilayah utara Jakarta. Tanggul laut ini memiliki peran penting sebagai penahan banjir di wilayah Jakarta.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menerangkan, kondisi penurunan muka tanah di Jakarta saat ini lebih cepat dari perkiraan. Penurunan muka tanah ini disebabkan beberapa hal, di antaranya pergerakan dasar laut, serta eksploitasi air tanah sebagai sumber air. Itu juga dipengaruhi kenaikan permukaan air laut yang disebabkan pemanasan global.
"Kebanyakan sumber air bersih Jakarta tidak banyak jaringan distribusi dari PDAM tapi langsung mengambil air tanah. Dan apabila dilakukan dalam jumlah yang masif sebagai akibatnya terjadi penurunan muka tanah lebih cepat daripada yang alamiah hanya karena pergerakan dasar laut," jelas dia kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (19/5/2017).
Baca Juga
Melihat kondisi itu, keberadaan tanggul laut dinilai perlu sebagai upaya menahan banjir di Jakarta. Namun memang, untuk mewujudkan hal tersebut mesti secara bertahap.
Bambang menerangkan, sebagai tahap awal, pemerintah telah membangun tanggul pantai. Pembangunan tanggul pantai ini dilakukan di titik-titik Jakarta yang rawan banjir. Total panjang tanggul pantai 20 km dan bakal rampung dalam 2 tahun ke depan.
"Jadi kita mulai dengan tahapan pertama membangun tanggul pantai sekitar 20 km difokuskan pada daerah paling rawan sering terkena banjir rob. Paling tidak dari sekarang sampai 2 tahun ke depan mudah-mudahan tanggul 20 km selesai. Dan mudah-mudahan tanggul itu menjaga Jakarta sampai 2025," jelas dia.
Namun, jika itu tak cukup maka diperlukan tanggul laut atau NCICD. NCICD yang digodok Bappenas berbeda dengan konsep yang ditawarkan Belanda. Bambang mengaku konsep yang ditawarkan Belanda ialah menutup wilayah pantai utara Jakarta.
"Usulan kami karena wilayah Teluk Jakarta ada mangrove, tambak, nelayan maka kita usulkan meskipun ada tanggul laut pada titik-titik tertentu ada kanal. Misalkan Kampung Nelayan Muara Angke, mungkin dilepas pantai ada tanggul yang kita pastikan nelayan bisa melaut melalui kanal menuju laut lepas Laut Jawa," ujar dia.
Bambang menerangkan, konsep tanggul laut yang diusung Bappenas berbeda dengan reklamasi 17 pulau Teluk Jakarta. Pasalnya, reklamasi 17 pulau hanya sekadar menambah daratan tidak berperan sebagai tanggul.
Bambang mengatakan, terdapat beberapa skenario terkait tanggul laut tersebut. Seperti, tanggul dengan reklamasi.
"Skenario kedua tanggulnya tanpa reklamasi, hanya tembok saja mungkin hanya dipakai untuk jalan, listrik, ataupun kereta api tapi tidak untuk suatu gedung atau tempat orang tinggal," ungkap Bambang.
Meski demikian, dia menuturkan, untuk pembangunan tanggul laut membutuhkan biaya yang tidak murah.
"Memang yang harus jadi perhatian besaran biaya kenapa usulan Belanda mengaitkan tanggul dengan reklamasi, karena biaya membangun tanggul sendiri sekitar Rp 85 triliun tanpa pulau. Tentunya Rp 85 triliun bukan jumlah uang kecil salah satu cara adalah bagaimana pemerintah bisa kerjasama swasta," tandas dia.
Advertisement
Â