YLKI: Harga Pangan Meroket karena Ada Praktik Penimbunan

Sudaryatmo berharap pemerintah dapat memperbaiki struktur pasar.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 24 Mei 2017, 10:54 WIB
Diterbitkan 24 Mei 2017, 10:54 WIB
Harga pangan di Pasar Senen Jakarta Pusat terpantau naik Dua pekan menjelang puasa. (Liputan6.com/Fiki Ariyanti)
Harga pangan di Pasar Senen Jakarta Pusat terpantau naik Dua pekan menjelang puasa. (Liputan6.com/Fiki Ariyanti)

Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik kebijakan pemerintah yang mematok Harga Eceran Tertinggi (HET) tiga komoditas, yakni minyak goreng, gula, dan daging sapi di pasar ritel modern. Cara ini dianggap bakal mubazir atau sia-sia dalam rangka mengendalikan harga jika pemerintah tidak mampu menyeimbangkan antara suplai dan permintaan.

Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo mengungkapkan, kenaikan harga bahan pangan, seperti cabai rawit merah, bawang putih, dan komoditas lainnya disebabkan banyak hal. Salah satunya mencakup suplai dan permintaan, termasuk perilaku konsumen.

"Harga-harga pangan naik karena ada fenomena panic buying. Konsumen takut tidak kebagian barang, kemudian membeli lebih dari kebutuhan, sehingga bisa mengganggu suplai," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Selasa (23/5/2017).

Sudaryatmo menyebut, penyakit dari mahalnya harga-harga bahan pangan di pasar diakibatkan struktur pasar di Indonesia yang masih bermasalah. "Penyakitnya ada di struktur pasar yang mendistorsi harga. Seperti para penimbun yang mencari keuntungan itu kan menimbulkan distorsi," ujarnya.

Menurut dia, pemerintah lebih baik menjaga sisi suplai dan permintaan guna mengendalikan harga ketimbang menetapkan harga eceran tertinggi untuk daging beku Rp 80 ribu per kg, minyak goreng sebesar Rp 11 ribu, dan gula Rp 12,5 ribu per kg di tingkat ritel modern yang berlaku sejak 10 April 2017.

"Saya kritik kebijakan pemerintah, walaupun punya wewenang di bidang harga, tapi jangan menetapkan HET. Wong itu komoditas gula, daging, minyak goreng pemerintah tidak pegang (selain beras). Yang suruh nyiapin pelaku usaha dan mereka belinya sudah di atas HET, lalu siapa yang nanggung selisihnya," ujar Sudaryatmo.

"Percuma pemerintah menetapkan harga tapi tidak bisa jaga suplai dan demand. Harga bergerak tidak apa, sepanjang tidak mengganggu," ujarnya.

Sudaryatmo berharap pemerintah dapat memperbaiki struktur pasar. Pemerintah pusat bisa mengadopsi strategi pemerintah daerah Jawa Timur dalam mengendalikan harga, yakni dengan selalu melakukan evaluasi harga di tingkat produsen dan konsumen.

"Kalau struktur pasar bermasalah, maka solusi operasi pasar yang dilakukan pemerintah tidak nyambung, dong, dengan masalahnya. Jadi, bisa menerapkan seperti yang di Jawa Timur. Kalau harga produksi naik, di konsumen naik maka didalami lagi. Input data harian dari produsen dan konsumen, begitu harga bergerak terpantau, sehingga kalau ada beda jauh, berarti ada yang mendistorsi," ujarnya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya