Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan memberikan tanggapan tentang keluhan atas perlakuan pajak penghasilan yang dianggap tidak adil terhadap profesi penulis, khususnya yang disampaikan oleh penulis Tere Liye.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hertu Yoga Saksama menjelaskan, pada prinsipnya semua jenis penghasilan yang diterima dari semua sumber dikenakan pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menjunjung tinggi asas-asas perpajakan yang baik, termasuk asas keadilan dan kesederhanaan.
Penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis, sehingga pajak dikenakan atas penghasilan neto yang ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Advertisement
Baca Juga
"Wajib pajak yang berprofesi sebagai penulis dengan penghasilan bruto kurang dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun, dapat memilih untuk menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) yang besarnya adalah 50 persen dari royalti yang diterima dari penerbit," jelas dia, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (6/9/2017).
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 untuk Klasifikasi Lapangan Usaha Nomor 90002 (Pekerja Seni). Ketentuan teknis mengenai penggunaan NPPN diatur dalam peraturan Ditjen Pajak tersebut.
Hestu melanjutkan, Ditjen Pajak menghargai dan terbuka terhadap setiap masukan untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem perpajakan Indonesia.
"Masukan dari semua pihak kami tindak lanjuti sesegera mungkin, namun keputusan yang bersifat kebijakan diambil secara hati-hati dan saksama dengan mempertimbangkan semua aspek, termasuk aspek legal dan analisis dampak kebijakan secara lebih luas yang sering kali membutuhkan waktu yang tidak singkat," tutur dia.
Saat ini pemerintah sedang melaksanakan program Reformasi Perpajakan untuk memperbaiki sistem perpajakan Indonesia, termasuk reformasi di bidang peraturan dan regulasi perpajakan.
Tonton Video Menarik Berikut:
Keluhan Tere Liye
Tere Liye, penulis dan sastrawan Tanah Air, baru saja memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan buku melalui penerbitan buku mainstream. Hal ini dilakukan lantaran dirinya merasakan ketidakadilan pajak yang dibebankan kepada profesi penulis di Indonesia.
Dalam akun resmi Facebooknya, Tere Liye mengungkapkan, penulis buku di negeri ini merupakan kumpulan orang-orang yang paling dermawan kepada pemerintah. Sebab, meski rumahnya paling kecil, mobilnya sederhana, ternyata mereka membayar pajak lebih tinggi dari profesi lain yang secara karier lebih pasti.
“Saya sudah setahun terakhir menyurati banyak lembaga resmi pemerintah, termasuk Dirjen Pajak, Bekraf, meminta pertemuan, diskusi. Mengingat ini adalah nasib seluruh penulis di Indonesia. Literasi adalah hal penting dalam peradaban. Apa hasilnya? Kosong saja. Bahkan, surat-surat itu tiada yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya. Atas progres yang sangat lambat tersebut, dan tiadanya kepedulian orang-orang di atas sana, maka saya Tere Liye, memutuskan menghentikan menerbitkan buku di penerbit-penerbit, Gramedia Pustaka Utama dan Penerbit Republika, per 31 Juli 2017 lalu,” tulis Tere Liye di akun Facebooknya.
Terkait dengan profesi penulis yang seolah dipandang sebelah mata di negeri ini, Maman S Mahayana, kritikus sastra yang juga guru besar sastra Universitas Indonesia, kepada Liputan6.com mengatakan, kerja literasi belum mendapat kedudukan yang penting di negeri ini. Seolah-olah mereka, para sastrawan dan penulis, tidak memberikan kontribusi apa pun dalam kehidupan ini.
“Selama negeri ini berdiri, tidak pernah pemerintah memberi penghargaan yang berupa materi yang besar dibandingkan penghargaan kepada atlet atau selebritas, misalnya,” ungkap Maman. Padahal, di mata Maman, peranan seniman dan penulis umumnya tidak kalah penting dibandingkan dengan profesi lain di negeri ini.
“Jika kita kembali ke sejarah pembentukan Indonesia sebagai negara kesatuan, sastrawanlah yang mula-mula merumuskannya, sebagaimana tercantum dalam teks Sumpah Pemuda. Bukankah teks Sumpah Pemuda itu mengisyaratkan Indonesia yang dibayangkan, yaitu bangsa yang beraneka ragam. Bangsa yang mendiami wilayah tertentu, dan bangsa yang mempunyai bahasa persatuan antarwarganya yang multietnik. Yang merumuskan teks Sumpah Pemuda itu tidak lain adalah sastrawan, yaitu Muhammad Yamin,” ungkap Maman.