Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, perusahaan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech) bisa berkolaborasi dengan bank konvensional seperti bank perkreditan rakyat (BPR). Itu sekaligus menampik asumsi jika kehadiran fintech menghantam BPR.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, fintech khususnya yang bergerak di bidang pinjam meminjam atau peer to peer lending bisa berkolaborasi dengan BPR. Dia menerangkan, Indonesia memiliki beragam suku dan budaya. BPR, lanjut dia, mempunyai pemahaman terhadap nasabah di daerah.
"Sekarang kami sedang merintis kolaborasi BPR dan peer to peer lending. Seperti yang saya katakan tadi, engine peer to peer sangat kuat, tapi dia tidak tahu budaya di Papua," dalam acara bertajuk How Fintech Supports Indonesian SMEs, di Jakarta, Jumat (15/9/2017).
Advertisement
Baca Juga
Bukan hanya BPR, kolaborasi juga bisa dilakukan antara peer to peer dengan bank pembangunan daerah (BPD).
Dia mencontohkan, sebuah bank memiliki nasabah dengan rekam jejak yang baik. Namun, nasabah membutuhkan pinjaman yang cepat. Bank tak bisa memenuhi hal tersebut karena memiliki prosedur yang harus ditaati. Di situ, bank bisa berkolaborasi dengan perusahaan fintech.
"Bank X dia punya nasabah, nasabah bagus ini, punya deposito. Tolong pinjami saya Rp 50 juta dalam 5 menit. Enggak bisa bank ini, ini bank regulation harus hati-hati. Sedang kalau dia lepas ini kecewa nasabah ini, akan pindah. Karena punya kolaborasi dengan fintech, peer to peer biayai karena dia punya track record yang bagus," papar dia.
Hendrikus mengatakan, industri keuangan berada di bawah pengawasan OJK. Sebab itu, OJK mendorong industri keuangan berkolaborasi.
"Ini contoh yang kita pahami peer to peer, perbankan, pasar modal, perusahaan pembiayaan itu juridiksi OJK. Tugas kami didalamnya semua industri bekerja sama dan bersinergi," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Perlu Peran Fintech untuk Pembiayaan RI
Indonesia kekurangan pembiayaan sekitar Rp 1.000 triliun per tahun yang tidak bisa dipenuhi baik dari industri perbankan, pasar modal, maupun perusahaan pembiayaan. Sebab itu, peran perusahaan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech) diperlukan.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan, indikator yang menunjukkan kurangnya pembiayaan ialah suku bunga pinjaman yang tinggi.
"Indikasinya gampang kita lihat, tingkat bunga pinjaman tertinggi di kawasan ASEAN," kata dia dalam acara bertajuk How Fintech Supports Indonesian SMEs, di Jakarta, Jumat (15/9/2017).
Bukan hanya itu, kurangnya pembiyaan juga terlihat banyak istilah di berbagai daerah untuk lintah darat. Lintah darat sendiri ialah istilah yang kerap ditujukan pada pihak yang memberi pinjaman dengan bunga tinggi.
"Artinya pertanda banyak orang butuh usaha atau apa pun tapi ketersediaan dana enggak ada," ujar dia.
Hendrikus menerangkan, di China, ada sekitar 4.000 fintech yang bergerak di bidang pinjam meminjam (lending) saat pertama kali merebak. Kini, jumlahnya menjadi 2.000 fintech setelah diatur. Dia menuturkan, jika penduduk Indonesia seperlima dari China, Indonesia perlu 800 fintech.
"Bayangkan misalnya penduduk Indonesia itu seperlima China, berarti seperlima kali 4.000 mungkin kita butuh 800 fintech di Indonesia," ungkap dia.
Namun, bukan berarti 800 fintech itu harus dipenuhi. Dia mengibaratkan, kendati banyak maskapai, pemasok pesawatnya hanya beberapa seperti Boeing dan Airbus. Maka, terpenting ialah membangun fintech yang kuat.
"Jadi jangan juga kawan-kawan memikirkan 'ayo bangun coding dari awal'. Jangan, nanti Anda ketinggalan," ujar dia.
Advertisement