Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Universitas Indonesia (UI), Chatib Basri, mendesak pemerintah untuk terus mempercepat dan memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen per tahun, akan sangat berisiko bagi Indonesia pada periode 2050.
"Pertumbuhan ekonomi 5 persen ini relatif lumayan dibanding negara penghasil sumber daya alam," ujarnya saat ditemui di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (21/11/2017).
Namun demikian, mantan Menteri Keuangan itu menilai, ekonomi Indonesia harus lebih tinggi pada 2050. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi diharapkan dapat mengerek pendapatan per kapita penduduk Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
"Kita tidak bisa tumbuh 5 persen terus. Kenapa? karena siapa pun Presidennya nanti di 2050, kalau kita tumbuhnya 5 persen, ada risiko kita menjadi tua sebelum kaya," tegas Chatib.
Dengan kondisi tersebut, Chatib mengaku, saat penduduk Indonesia memasuki usia tua, mereka sudah berhenti bekerja. Artinya, mereka tidak lagi membayar pajak, sementara mereka masih hidup dan membutuhkan jaminan kesehatan.
"Saat masuk aging population, mereka sudah berhenti bekerja, tidak bayar pajak, dan masih hidup. Mereka butuh jaminan kesehatan atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan ini akan menjadi beban fiskal makin besar. Inilah yang terjadi sekarang dengan Jepang, Korea, dan Australia," ia menjelaskan.
Perbedaannya dengan Indonesia, kata Chatib Basri, negara-negara tersebut sudah mencatatkan pendapatan per kapita sebesar US$ 40 ribu per tahun pada 2050. Sementara pendapatan penduduk Indonesia baru akan mencapai US$ 20 ribu per kapita per tahun.
"Saat aging population, income per capita negara-negara itu sudah US$ 40 ribu per tahun, sementara Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi 5-6 persen di 2050 baru US$ 20 ribu per tahun. Jadi pertumbuhan ekonomi harus dipercepat, bekerja sama antara pemerintah dan seluruh pihak," kata Chatib.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Realisasi pertumbuhan ekonomi
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,06 persen pada kuartal III 2017 dibandingkan periode kuartal III 2016 sekitar 5,02 persen.
Pertumbuhan ekonomi hingga kuartal III 2017 itu juga lebih tinggi dari periode kuartal I dan II 2017 sebesar 5,01 persen.
"Pertumbuhan ekonomi 5,06 persen ini menggembirakan karena ini lebih tinggi dibandingkan kuartal I dan II sebesar 5,01 persen," ujar Kepala BPS Suhariyanto, Senin (6/11/2017).
Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-III dibandingkan periode sama 2016 sebesar 5,03 persen. Sementara itu, nilai produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga kontan (ADHK) mencapai Rp 2.551,5 triliun pada kuartal III 2017. Adapun, PDB atas dasar harga berlaku (ADHB) Rp 3.502 triliun.
Suhariyanto menuturkan, ada sejumlah catatan yang mendorong pertumbuhan ekonomi hingga kuartal III 2017. Pertama, harga komoditas minyak dan gas (migas) dan nonmigas di pasar internasional pada kuartal III meningkat baik kuartal per kuartal dan year on year (YoY).
Kedua, Suhariyanto menuturkan, kondisi ekonomi global juga menunjukkan peningkatan pada kuartal III 2017. Ini ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi China menguat dari 6,7 persen pada kuartal III 2016 menjadi 6,8 persen pada kuartal III 2017. Amerika Serikat (AS) ekonominya naik dari 1,5 persen menjadi 2,3 persen. Singapura mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang menguat dari 1,2 persen menjadi 4,6 persen.
"Kondisi ekonomi global pada kuartal III terus menunjukkan peningkatan," ujar dia.
Selain itu, inflasi sebesar 0,28 persen kuartal per kuartal. Namun, jika dibandingkan posisi September 2016 terjadi inflasi 3,72 persen secara YoY.
Realisasi belanja pemerintah yang meningkat juga dukung ekonomi Indonesia hingga kuartal III 2017. Belanja pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp 481,34 triliun hingga kuartal III 2017 atau pagu 22,56 persen dari pagu 2017 sebesar Rp 2.133,30 triliun.
"Naik dibanding kuartal sama tahun lalu sebesar Rp 440,14 triliun atau 21,13 persen dari pagu Rp 2.082,90 triliun," kata dia.
Advertisement