India Setop Penyelidikan Antidumping Produk Serat Asal RI

DGAD India merekomendasikan penghentian penyelidikan antidumping produk serat staple poliester, yang salah satunya berasal dari Indonesia.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 02 Feb 2018, 19:30 WIB
Diterbitkan 02 Feb 2018, 19:30 WIB
20160830- Industri Tekstil Nasional-Tangerang- Angga Yuniar
Kementerian Perindustrian optimistis kinerja industri tekstil dan produk tekstil nasional akan gemilang seiring pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini yang berpotensi terus membaik. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Direktorat Jenderal Anti Dumping dan Persekutuan Dagang (DGAD) India merekomendasikan penghentian penyelidikan antidumping produk serat staple poliester, yang salah satunya berasal dari Indonesia.

Rekomendasi tersebut diberikan setelah DGAD India memutuskan untuk menghentikan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) produk benang filamen nilon asal Indonesia. Ketetapan itu disampaikan melalui notifikasi F.No.14/49/2016-DGAD pada Kamis, 25 Januari 2018.

“Ini akan membuka peluang bagi industri benang Indonesia dengan tujuan ekspor terutama ke India. Keputusan ini diharapkan akan membawa dampak positif bagi peningkatan ekspor Indonesia,” ungkap Dirjen Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan dalam keterangan resminya di Jakarta, Jumat (2/2/2018).

Serat stapel poliester adalah material yang tersusun dari gabungan kimia sintetik dan dapat digunakan untuk berbagai macam industri, di antaranya industri tekstil, otomotif, dan furnitur.

Serat ini banyak digunakan oleh berbagai macam industri karena memiliki karakter yang lentur dan kuat. Selain itu, benang jenis ini cepat kering, mudah dicuci, dan awet.

Penyelidikan antidumping serat stapel poliester mulai diinisiasi pada 2 Februari 2017. Namun, penyelidikan ini dihentikan. Alasannya pemerintah India menganggap bahwa nilai peningkatan impor serat stapel poliester yang terjadi hanya sebesar 7 persen dari total produk tersebut yang beredar di India.

Impor dari Indonesia terbukti tidak menimbulkan kerugian bagi industri domestik. Apabila terjadi kerugian, maka tidak diakibatkan oleh produk impor, melainkan kenaikan biaya produksi industri serat stapel poliester di India.

Ekspor serat stapel poliester Indonesia pada 2013 sebesar US$ 26,5 ribu. Nilai tersebut terus meningkat dan mencapai puncaknya pada 2015 sebesar US$ 10,1 juta.

Sementara itu, pada 2016, ekspor produkini turun menjadi US$ 6,1 juta. Pada periode Januari-November 2017, ekspor produk ini kembali meningkat hingga sebesar 38,4 persen dari US$ 5,6juta menjadi US$ 7,8 juta dibandingkan periode yang sama 2016.

Ekspor serat stapel poliester Indonesia ke India menunjukkan tren positif yaitu sebesar 448,3 persen. Melihat tren tersebut, ekspor serat stapel poliester ke India masih terbuka lebar.

“Dengan dihentikannya penyelidikan antidumping ini, maka semakin memperbesar peluang pangsa pasar produk segmen ini oleh eksportir Indonesia,” pungkas Direktur Pengamanan Perdagangan, Pradnyawati.

Tonton Video Pilihan di Bawah Ini:

RI Menangkan Sengketa Biodiesel dengan Uni Eropa

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyampaikan Indonesia berhasil memenangkan sengketa biodiesel dengan Uni Eropa (UE). Hasil akhir putusan Panel Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO memenangkan enam gugatan Indonesia atas UE.

Demikian disampaikan Mendag dari Islamabad, Pakistan, pada 26 Januari 2018.

"Hal ini merupakan bentuk kemenangan telak untuk Indonesia yang tentunya akan membuka lebar akses pasar dan memacu kembali kinerja ekspor biodiesel ke UE bagi produsen Indonesia, setelah sebelumnya sempat mengalami kelesuan akibat adanya pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) atas produk tersebut," tandas Mendag.

UE mengenakan BMAD atas produk biodiesel Indonesia sejak tahun 2013 dengan margin dumping sebesar 8,8 persen-23,3 persen. Sejak saat itu, ekspor biodiesel Indonesia ke UE mengalami penurunan.

Berdasarkan data statistik BPS, pada periode 2013–2016 ekspor biodiesel Indonesia ke UE turun sebesar 42,84 persen dari US$ 649 juta pada tahun 2013 turun menjadi US$ 150 juta pada 2016.

Nilai ekspor biodiesel Indonesia ke UE paling rendah terjadi di tahun 2015 yaitu hanya sebesar US$ 68 juta. Kemenangan Indonesia atas sengketa ini memberikan harapan kepada eksportir/produsenbiodiesel Indonesia.

Tren ekspor biodiesel Indonesia ke UE pada periode sejak pengenaan BMAD sampai dengan dikeluarkannya putusan akhir Badan Penyelesaian Sengketa WTO (2013-2016) diestimasikan sebesar 7 persen.

"Jika peningkatan tersebut dapat dipertahankan dalam dua tahun ke depan, maka nilai ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2019 diperkirakan akan mencapai US$ 386 juta dan pada 2022 akan mencapai US$ 1,7 miliar," imbuh Mendag.

Panel Badan Penyelesaian Sengketa WTO telah melihat bahwa UE tidak konsisten dengan peraturan Perjanjian Antidumping WTO selama proses penyelidikan dumping hingga penetapan BMAD atas impor biodiesel dari Indonesia.

Ketentuan Perjanjian Antidumping WTO yang dilanggar UE dalam sengketa Indonesia dan UEuntuk biodiesel (DS480), yaitu pertama, UE tidak menggunakan data yang telah disampaikan oleheksportir Indonesia dalam menghitung biaya produksi.

Kedua, UE tidak menggunakan data biaya yang terjadi di Indonesia pada penentuan nilai normal untuk dasar penghitungan margin dumping. Ketiga, UE menentukan batas keuntungan yang terlalu tinggi untuk industri biodiesel diIndonesia.

Keempat, metode penentuan harga ekspor untuk salah satu eksportir Indonesia tidak sejalan dengan ketentuan. Kelima, UE menerapkan pajak yang lebih tinggi dari margin dumping.

Keenam, UE tidak dapat membuktikan bahwa impor biodiesel asal Indonesia mempunyai efek merugikan terhadap harga biodiesel yang dijual oleh industri domestik UE.

Keputusan WTO Jadi Acuan

Oke menuturkan bahwa hasil putusan Badan Penyelesaian Sengketa WTO dapat menjadi acuan bagi semua otoritas penyelidikan antidumping agar konsisten dengan peraturan WTO, terutama selama proses investigasi.

“Komitmen kami dalam mengamankan pasar ekspor adalah mengawal ekspor Indonesia agar kembali dapat bersaing di pasar negara tujuan ekspor, seperti UE. Sedangkan bagi otoritas penyelidikan negara lain, tentunya kasus ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi agar berhati-hati saat menuduh Indonesia melakukan praktik dumping,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati mengatakan bahwa sebagai konsekuensi kemenangan Indonesia dalam sengketa biodiesel dengan UE tersebut, maka putusan Panel Badan Penyelesaian Sengketa WTO harus diimplementasikan sejalan dengan ketentuanWTO.

“UE diwajibkan melakukan penyesuaian BMAD yang telah dikenakan sebelumnya agar sejalan dengan peraturan Perjanjian Antidumping WTO,” jelasnya.

Dalam penyelesaian sengketa ini, Indonesia memutuskan untuk menempuh jalur hukum, baik melalui pengadilan di UE maupun penyelesaian sengketa melalui DSB WTO.

Indonesia mengajukan sebanyak tujuh klaim gugatan utama kepada UE. Pembelaan Indonesia juga disampaikan dalam sidang First Substantive Meeting (FSM) pada 29-30 Maret 2017 dan dilanjutkan dalam sidangSecond Substantive Meeting (SSM) pada 4-5 Juli 2017.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya