HEADLINE: Rupiah Terkoreksi, Ekonomi RI Aman?

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terkoreksi sejak pekan lalu. Bagaimana imbasnya ke ekonomi Indonesia?

oleh Arthur GideonFiki AriyantiIlyas Istianur Praditya diperbarui 27 Apr 2018, 00:00 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2018, 00:00 WIB
Rupiah Melemah Tipis, Dolar AS Apresiasi ke Rp 13.775/US$
Petugas menunjukkan uang kertas rupiah di Bank BUMN, Jakarta, Selasa (17/4). Rupiah siang ini melemah dibandingkan tadi pukul 09.00 WIB di level Rp 13.771 per dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terkoreksi sejak pekan lalu. Pelemahan rupiah ini karena faktor global khususnya kebijakan dari pemerintah Amerika Serikat (AS). Pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bahwa ekonomi Indonesia masih aman.

Jika dihitung dari dari awal bulan, pelemahan rupiah mencapai 1,3 persen. Sedangkan jika dihitung dari awal tahun atau year to date, pelemahan rupiah tercatat 2,59 persen. Pada Kamis (26/4/2018), nilai tukar rupiah sempat menyentuh 13.935 per dolar AS atau mendekati 14.000 per dolar AS.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pelemahan rupiah lebih kecil atau relatif sama dibanding mata uang negara maju dan negara berkembang lainnya yang mencapai lebih dari dua persen. "Dalam dua hari terakhir, dibanding mata uang negara maju dan emerging, rupiah masih pada kisaran yang relatif sama atau lebih baik sedikit," ujarnya Kamis (26/4/2018).

"Beberapa mata uang negara maju, terdepresiasi di atas dua persen. Mata uang di kawasan kita (ASEAN) pun di atas itu. Bahkan India terdepresiasi lebih dalam karena ingin memacu ekspor," Sri Mulyani menambahkan.

Tak berbeda jauh, Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo mengatakan, rupiah pada 25 April 2018 terdepresiasi sebesar 1,09 persen (mtd). Depresiasi rupiah ini masih lebih rendah dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara Asia lain termasuk Thailand  yang tercatat 1,14 persen, Malaysia sebesar 1,23 persen, Singapura turun  1,24 persen, Korea Selatan di angka 1,58 persen dan India di angka 2,57 persen.

Apabila tekanan terhadap nilai tukar terus berlanjut serta berpotensi menghambat pencapaian sasaran inflasi dan mengganggu stabilitas sistem keuangan, Bank Indonesia tidak menutup ruang bagi penyesuaian suku bunga kebijakan BI 7-Day Repo Rate.

"Kebijakan ini tentunya akan dilakukan secara berhati-hati, terukur, dan bersifat data dependence, mengacu pada perkembangan data terkini maupun perkiraan ke depan," tutur agus.

Sri Mulyani melanjutkan, penyebab kurs rupiah melemah lebih banyak dipengaruhi kebijakan ekonomi dari pemerintah AS seiring dengan perbaikan data ketenagakerjaan dan inflasi di Negeri Paman Sam.

"Perekonomian AS, baik data employment maupun inflasi menunjukkan suatu recovery. Perubahan kebijakan fiskal, seperti pajak dan perdagangan, sehingga AS akan melakukan berbagai kebijakan meng-adjust," paparnya.

Selain itu, sambungnya, The Fed juga akan menaikkan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate sebanyak tiga sampai empat kali di 2018.

Analis lembaga keuangan Oanda Corporation Singapura, Stephen Innes mengatakan hal yang sama. Rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS menjadi alasan dolar AS menguat cukup tajam pada pekan ini.

"Kecuali ada kehancuran di pasar saham AS, dan tidak mungkin itu terjadi, sangat diragukan Bank Sentral AS tidak akan menaikkan suku bunga," jelas analis dia seperti dikutip dari Reuters.

Infografis Nilai Tukar Rupiah
Infografis Nilai Tukar Rupiah (Liputan6.com/Trie Yas)

Defisit anggaran aman

Menurut Sri Mulyani, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 tetap aman terkendali meskipun digoyang pelemahan rupiah.

Pemerintah mematok defisit fiskal senilai Rp 325,9 triliun atau setara 2,19 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pemerintah akan memantau pos-pos penerimaan dan belanja di APBN yang berpotensi terdampak pelemahan rupiah, kenaikan suku bunga, dan harga minyak dunia.

"Sampai hari ini dengan adanya sensitivitas kurs rupiah, suku bunga, harga minyak, defisit APBN di 2018 masih akan tetap terjaga di 2,19 persen sesuai UU APBN," kata dia.

Sri Mulyani bahkan memperkirakan defisit fiskal tahun ini bisa lebih rendah dengan melihat potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari minyak. Penerimaan itu bisa mengompensasi pelemahan pendapatan dari sisi pajak.

"Dengan fondasi fiskal kita yang kuat, defisit terjaga, kebijakan moneter yang terus dijaga fleksibilitasnya, akan bisa menjaga kepercayaan masyarakat," kata dia.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan pemerintah tidak akan melakukan perubahan APBN 2018 meskipun saat ini nilai tukar rupiah terus melemah. Dalam APBN 2018 pemerintah menetapkan nilai tukar rupiah sebesar 13.400 per dolar AS.

"Enggak. Tidak ada sesuatu yang membuat kita harus melakukan (Perubahan nilai tukar di APBN). Tidak harus panik sebetulnya," ujar Menko Darmin.

 

Sistem Keuangan dan Utang Terjaga

Rupiah Melemah Tipis, Dolar AS Apresiasi ke Rp 13.775/US$
Tabel data kurs valuta asing yang berada di Bank BUMN, Jakarta, Selasa (17/4). Mengacu data Bloomberg, rupiah siang ini pukul 12.00 WIB di pasar spot exchange sebesar Rp 13.775 per dolar AS atau menguat 4,7 poin. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Industri keuangan di Indonesia juga cukup kuat menghadapi pelemahan rupiah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyiapkan koridor aturan agar industri perbankan memiliki ketahanan yang kuat dalam menyikapi tekanan dari perekonomian global.

Salah satu aturan yang menguatkan ketahanan tersebut adalah POJK No.6/ POJK.03/2018 tentang Perubahan atas POJK Nomor 7/POJK.03/2016 tentang Prinsip Kehati-Hatian dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product bagi Bank Umum.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan, peraturan ini diharapkan dapat lebih mendorong bank melaksanakan kegiatan structured product khususnya call spread option di pasar valas dalam negeri yang pada gilirannya akan membantu memperdalam pasar derivatif di Indonesia.

“Ini merupakan wujud nyata dari komitmen dan dukungan OJK terhadap upaya pendalaman pasar keuangan melalui upaya mendorong transaksi structured product di dalam negeri,” kata dia.

Wimboh melanjutkan, kondisi industri perbankan masih tetap solid dan memiliki ketahanan yang kuat dalam menyikapi tekanan dari perekonomian global.

Rasio-rasio keuangan menunjukkan hal yang positif antara lain terlihat dari permodalan dan likuiditas yang kuat, dengan CAR bulan Maret lalu mencapai 22,67 persen.

Profitabilitas perbankan juga terjaga dengan ROA sebesar 2,55 persen, ditopang oleh perbaikan efisiensi yaitu rasio BOPO yang menurun ke level 78,76 persen.

Risiko kredit, risiko pasar, dan risiko likuiditas berada pada level yang manageable. Rasio Non-Performing Loan (NPL) gross perbankan menunjukkan perbaikan, tercatat sebesar 2,75 persen.

Pelemahan rupiah ini tentu juga akan berdampak kepada utang pemerintah. Tekanan terhadap mata uang Garuda ini berdampak pada pembengkakan nilai outstanding utang pemerintah mencapai Rp 10,9 triliun.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), total outstanding utang pemerintah sampai dengan Maret 2018 sebesar Rp 4.136,39 triliun. Dari jumlah itu, utang pemerintah dalam valuta asing (valas) sebesar USD 109 miliar.

Sementara itu, kurs rupiah masih bergejolak dan saat ini berada di posisi 13.888 per dolar AS, berdasarkan data kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau JISDOR.

Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Strategi Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Erwin Ginting, menjelaskan, pelaporan posisi utang pemerintah RI di akhir periode tertentu menggunakan nilai tukar pada saat itu.

"Jadi untuk outstanding per akhir Maret 2018 yang sebesar Rp 4.136 triliun dengan komponen utang valas USD 109 miliar, sudah menggunakan kurs sekitar Rp 13.750 per dolar AS," ujarnya kepada Liputan6.com.

Menurutnya, pembayaran utang oleh pemerintah menggunakan nilai tukar saat itu atau saat transaksi. Namun, beban pemerintah dalam membayar utang bisa lebih ringan karena ada penerimaan dalam mata uang asing.

"Pemerintah kan punya penerimaan dari valas. Kalau ada penerimaan valas US$ 500 juta, secara pengelolaan kas pemerintah bisa dipakai untuk bayar utang US$ 500 juta. Ini yang namanya natural hedging (lindung nilai natural), sehingga rugi kurs bisa dikelola," katanya.

Harus Jadi Momentum

20161025-Bea-Cukai-Kembangkan-ISRM-untuk-Pangkas-Dwelling-Time-Jakarta-IA
Aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Kebijakan ISRM diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan efektifitas pengawasan dalam proses ekspor-impor. (Liputan6.com/Immaniel Antonius)

Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia Ronny P Sasmita menganggap nilai tukar rupiah tersebut masih berada di luar fundamentalnya. Meski demikian, Bank Indonesia (BI) dinilai telah melakukan intervensi dengan menggunakan cadangan devisa.

Dengan masih tingginya sentimen dari global tersebut, Ronny mengaku harus menjadi momentum buat pemerintah dalam meningkatkan investasi di Indonesia. Karena investasi ini penting dalam memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.

"Jadi kalau rupiah melemah itu investasi di Indonesia jadi lebih murah, jadi ini bisa dimanfaatkan," kata Ronny saat berbincang dengan Liputan6.com.

Tidak hanya itu, momentum pelemahan rupiah juga bisa dimanfaatkan para pengusaha untuk meningkatkan ekspornya. Hanya saja ekspor yang harus diutamakan adalah peningkatan kualitas produk ekspor dan ekspansi pasar ekspor.

"Pilihannya sekarang, selain kebijakan moneter, juga menggenjot ekspor adalah opsi yang paling sustain," ucap Ronny.

Ketua Komite Tetap Pengembangan Industri Derivatif Pertanian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Andi Bachtiar Sirang mengungkapkan, kegiatan ekspor hasil pertanian, seperti kopi hingga teh, akan meraup laba lebih seiring menguatnya dolar AS.

"Untuk sektor pertanian, khususnya komoditas ekspor kopi, kakao, teh, dan sawit, tentu menguntungkan karena penerimaannya dalam dolar AS," terang dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Andi menjelaskan, terpuruknya nilai tukar mata uang Garuda itu pun tidak akan banyak berpengaruh terhadap penjualan komoditas pertanian di pasar domestik, sebab masih menggunakan rupiah sebagai ongkos produksinya.

Andi menyimpulkan bahwa sektor industri pertanian masih terbilang aman dari melemahnya rupiah.

Sementara itu, katanya, pelemahan rupiah justru akan merugikan para pelaku usaha yang komponen produksinya berbahan baku impor.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya