Defisit BPJS Kesehatan Capai Rp 10 Triliun di 2017

Jumlah klaim lebih besar dibandingkan dengan total iuran di 2017, sehingga ada defisit sekitar Rp 10 triliun pada 2017.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Mei 2018, 16:45 WIB
Diterbitkan 16 Mei 2018, 16:45 WIB
BPJS Kesehatan
Warga Indonesia sedang melihatkan kartu BPJS Kesehatan

Liputan6.com, Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan menegaskan, jumlah klaim atau total pengeluaran dari program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) mencapai Rp 84 triliun sepanjang 2018. 

"Jumlah klaim (pengeluaran) tahun lalu Rp 84 triliun. Nanti diumumkan ada laporan audit," kata Direktur Keuangan BPJS Kesehatan, Kemal Imam Santoso di kantornya, Jakarta, Rabu (16/5/2018).

Jumlah klaim tersebut lebih besar dibandingkan pendapatan iuran di tahun lalu dari Jaminan Kesehatan JKN-KIS sebesar Rp 74,25 triliun. Jika diakumulasi, sepanjang empat tahun, maka total iuran program JKN-KIS mencapai Rp 235,06 triliun. Artinya secara perhitungan, BPJS Kesehatan mengalami defisit sekitar Rp 10 triliun.

Meski demikian, Kemal membantah jika angka Rp 10 triliun tersebut dianggap sebagai defisit. Sebab menurutnya tidak semua klaim sebesar Rp 84 triliun itu dikeluarkan pada tahun yang sama.

"Kalau kita menggunakan anggaran berimbang, tidak semua klaim jatuh di tahun yang sama. Begini, Rp 84 triliun itu yang harus kita bayar tapi jatuh temponya enggak pada tahun yang sama semua," terang Kemal.

Lebih lanjut kemal menerangkan, besaran pada klaim terjadi karena beberapa faktor, mengingat jumlah peserta pada program JKN-KIS  terus bertambah. Tercatat hingga 11 Mei 2018, perserta JKN-KIS mampu mencapai 197,4 juta jiwa.

Dengan begitu, sambungnya, secara menyeluruh tidak dapat terprediksi kapan orang itu akan sakit dan berapa kali harus dirawat.

"Jadi begini orang sakit tidak ada jadwalnya. Hari ini bisa, besok bisa kembali lagi dan dinamikanya sangat tinggi. Ada yang sudah sembuh minggu depan datang sakit yang lain. Kedua, semua peserta mendapatkan haknya. Ketiga, pihak faskes dibayar sesuai dengan jumlah klaim dan waktu. Pak Dirut (BPJS Kesehatan) sudah katakan urusan defisit dan kurang, urusan kami dan pemerintah," tandas Kemal. 

Industri Farmasi: Pakai Garam Lokal, Pasien Kejang-Kejang

Ilustrasi infus
Ilustrasi infus (The Atlantic)

Industri farmasi merupakan salah satu industri yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap garam industri impor sebagai bahan baku. Pada tahun ini, kebutuhan garam untuk industri tersebut mencapai 6.846 ton.

Plant Manager PT Intan Jaya Medeka Solusi, Rudi Santoso mengatakan, ‎pada tahun lalu perusahaan mengalami kesulitan untuk mendapatkan garam industri. Padahal seiring dengan peningkatan keanggotaan BPJS Kesehatan, kebutuhan akan obat-obatan dan alat kesehatan terus meningkat.

"(Garam) Ini penting. Sekarang BPJS pelanggan saya. Memang 2017 agak sulit untuk impor garam industri," ujar dia di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta, Selasa (20/3/2018).

Rudi mengungkapkan, setiap tahunnya industri farmasi membutuhkan garam sekitar 6.000 ton. Namun ke depannya, kebutuhan garam diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan akan obat-obatan.

"Kami impor sebetulnya tidak terlalu banyak. Hanya 1.200-1.300 ton. Kalau dari semua farmasi, 5.000-6.000 ton. Sekarang mungkin bisa 8.000-10 ribu ton. Karena trennya cukup tinggi, dan sekarang BPJS cover semua,"‎ jelas dia.

Menurut Rudi, perusahaan juga pernah menggunakan garam lokal untuk kebutuhan produksinya. Namun ternyata garam tersebut tidak cocok, bahkan hingga menyebabkan kejang-kejang pada pasien yang menggunakan produk farmasinya.

"Kami juga pernah melakukan modifikasi produk, menggunakan garam lokal yang (kualitas) agak tinggi, enggak bisa masuk. Di Bali, pasiennya kejang-kejang karena garamnya kurang kemurniannya. Karena purity harus 99 persen, bahkan 100 persen," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya